Cemara di Belakang Rumah Oma

Setiap kali mencium aroma pohon cemara, wajah Oma kerap kali muncul di kepala. Diikuti dengan kenangan-kenangan pendek kala aku masih belia. Setiap kali libur kenaikan kelas, aku selalu tak sabar menunggu saatnya pergi menginap di rumahnya. Entah apa yang membuatku kerasan di sana. Entah hidangan-hidangan khas Oma atau ketenangan suasana. Aku selalu merasa rumah Oma adalah rumah kedua. 

Tak lekang dari pikiranku adalah kisah tentang pohon-pohon cemara di belakang rumahnya. 

Oma tinggal di daerah pedesaan dengan udara yang segar, dan hamparan alam hijau yang seakan dapat melenyapkan segala lara. Di kebunnya yang penuh tanaman sayur, buah, dan bunga, aku sering menghabiskan waktu membayangkan hal-hal yang jauh di sana. Setiap kali waktu itu datang, aku pun memandangi jajaran pohon-pohon cemara yang berbaris rata. Sering aku bertanya-tanya ada apa di belakang rimbunan cemara-cemara itu. Apakah mereka menyembunyikan harta? Atau bahkan di baliknya ada sebuah istana? Seperti bisa membaca pikiranku, Oma pun mulai bercerita.

“Kamu tahu, Aya, pohon cemara adalah pohon hijau abadi”, Oma mengawali ceritanya sambil mengambil beberapa bunga melati dari kebun,”bisa hidup di berbagai musim mereka dan..akan terus hijau walaupun sudah menua.” Mendengar Oma memulai interaksi, aku terbangun dari lamunan dan duduk bersila berniat untuk mendengarkan dengan seksama. Tahu aku sudah memberikan perhatian, Oma tersenyum kecil dan kembali merajut kata-kata. 

“Warga di desa ini percaya jumlah pohon cemara di sana sejumlah orang-orang yang tinggal di sini. Dan..kalau ada seseorang yang dipanggil Sang Maha, satu cemara pun akan tiada”, raut wajah Oma kini terlihat sedikit sendu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. “Saat Opa kamu pergi meninggalkan kita, satu cemara tiba-tiba roboh tersambar kilat yang melaju pesat tak terkira.” Meski masih berusia 6 tahun saat itu, aku sudah bisa merasakan haru kesedihannya. Keesokan harinya, aku baru tahu ternyata hari itu adalah hari kematian Opa. Itu pula alasan Oma memetiki bunga melati untuk ditaburkan di makam Opa. 

Kini Oma menarik napas panjang dan mengarahkan pandangan ke barisan cemara, “Kami di desa ini percaya cemara-cemara itu bagaikan penjaga. Tapi ya..selama kami juga menjaga mereka.”

“Kok begitu, Oma? Emang pernah ada yang celaka waktu mereka enggak dijaga?”, pertanyaan dalam pikiran mendorongku untuk menyela. “Kejadiannya tahun 1982. Kamu belum lahir ke dunia. Jadi, dulu ada beberapa tetangga yang menebang pohon untuk dijadikan hiasan semata. Beberapa hari kemudian, mereka meninggal di hari yang sama. Kecelakaan beruntun, katanya.” 

Aku menatap Oma lekat-lekat sambil menunjuk ke arah pohon-pohon cemara, “Oma pernah ke sana?”. Oma terlihat telah selesai memetik bunga melati dan kini duduk persis di sebelahku, memegang bahuku dan mengarahkan ke area pohon-pohon lebat itu berada, “Sudah pasti pernah ke sana. Oma sudah tinggal di sini puluhan tahun lamanya. Mereka layaknya kawan lama. Setiap kali bertandang, Oma sering mengajak bicara. Kebanyakan tentang semesta. Mereka pun seolah mengerti, lalu menanggapi dengan mengayun-ayunkan batang pohon, melambaikan daun-daun jarumnya, lalu mendesiskan suara.”

Raut wajah Oma yang tadinya terlihat cerah dengan senyum tipis, terlihat sedang mengembalikan ingatannya, sekarang sedikit meredup, dan menurunkan kepala. “Tapi…setelah ketiadaan Opa, Oma tak lagi pernah mampir ke sana. Rasanya kami sedang sama-sama berduka. Mereka juga kehilangan saudara. Dan Oma pun merasa lebih baik menjaga jarak, memerhatikan dari kejauhan, meski tetap saling memandangi dari sisi yang berbeda.”

Aku memandangi tatapan nanar Oma ke arah cemara-cemara di seberang, serasa hangat dalam dada. Seiring keheningan menyela cerita Oma, semilir angin berhembus meniup rambutnya yang putih karena usia. Oma kemudian menutup matanya perlahan, menarik napas dalam, seraya berkata, “Hai, Cemara, apa kabar kalian di sana? Kami baik-baik di sini, hingga saatnya tiba,” Oma menyapa. Ia pun menggoyang-goyangkan kepala dan bahu perlahan, seolah sedang mendengarkan alunan nada-nada. Tak lama, cemara-cemara di kejauhan turut mengikuti gerakannya. Ke kanan, dan kiri, seperti sedang berdansa. 

Apakah itu hanya sebuah kebetulan belaka? Atau memang mereka dapat saling bertukar bahasa? Entahlah, aku kala kecil tidak tahu mana yang harus kupercaya. 

Tahun demi tahun aku menghabiskan waktu di rumah Oma, cerita tentang cemara selalu dalam agenda. Setiap tahun ceritanya selalu berbeda. Dahulu kala, Oma bilang puluhan pohon cemara terbakar memperlihatkan gunungan api menyala. Beberapa hari kemudian, puluhan warga desa meninggal terkena wabah mematikan yang berasal dari kota. Ternyata, cemara-cemara juga bisa memberikan pertanda. 

Tapi seiring usiaku bertambah, cerita-cerita Oma aku anggap seperti sebuah dongeng tak nyata. Terutama karena aku tidak pernah mengalami atau sekadar melihat dengan mata kepala. Hingga saatnya tiba. Usiaku 22. Tentu saja aku sudah tidak berlibur di rumah Oma sekian tahun lamanya. Antara kesibukan di dunia fana, dan mendekatkan diri dengan anggota keluarga, aku lebih memilih yang pertama. Tepat di hari kematian Opa, kesehatan Oma menurun tiba-tiba. Meski begitu, Oma tidak mau dirawat di rumah sakit yang katanya terasa seperti ruang hampa. Ia memilih berada di rumah karena katanya, “waktunya telah tiba”. 

Sesaat sebelum Oma pergi untuk selamanya, ia memintaku untuk menemani sendiri tanpa anggota keluarga lainnya. “Aya, kamu mungkin tidak percaya tentang cemara. Kini saatnya kamu membuktikan mereka adalah penjaga. Lihatlah keluar jendela setelah Oma menutup mata”, tangan hangat dan lembutnya menggenggam tanganku, “Terkadang, kita hanya perlu percaya untuk membuat sesuatu menjadi nyata.” Genggamannya mengendur, matanya memejam perlahan, Oma pun tertidur tak lagi bernyawa. 

Sesuai janjiku dalam hati pada Oma, aku melihat ke arah jendela. Dari kejauhan, terlihat cemara-cemara itu bergerak-gerak perlahan, lalu satu di antaranya mulai berubah warna. Daun-daun yang hijau mulai berguguran, meninggalkan dahan, dan terbang entah ke mana. Ia pun terjatuh ke tanah tanpa aba-aba. Sungguh mitos yang luar biasa. Begitu pikirku bersamaan dengan kehadiran sang duka. 

Sejak kepergian Oma, sedikit demi sedikit aku mulai memahami maksud cerita pohon cemara. Terlepas dari percaya pada mitos atau menganggapnya sebagai kebetulan saja, Oma sebenarnya ingin aku percaya pada Semesta. Karena ternyata, hanya Semesta yang tahu waktu atas segalanya. Terutama atas waktu kita yang tersisa. Yang bisa dilakukan hanyalah menunggu dalam asa. Sembari menunggu, kita bisa berjaga-jaga dengan tetap memeluk Semesta. 

Add Your Heading Text Here