Hidup itu ibarat sekolah yang tidak pernah ada kata tamat. Setiap kali kita hendak “naik kelas” selalu saja ada ujian untuk mempertanyakan kembali keputusan kita. Seperti apa yang aku hadapi sekarang ini. Menjelang pernikahanku dengan Bernard, hampir setiap malam aku memimpikan seorang pria yang pernah ada di masa laluku. Padahal aku hampir tidak pernah mengingatnya lagi saat berada dalam kondisi sadar. Anehnya, setiap kali terbangun dari mimpi-mimpi itu, seakan ada perasaan ingin kembali.
Setelah itu, seharian aku pasti akan terkubur dalam nostalgia masa lalu seakan sedang menekan tombol rewind, memutar kembali satu sisi kaset pada lagu pertama. Apa yang terjadi dalam mimpi seolah tidak langsung hilang saat aku terbangun. Padahal biasanya, jika mimpi itu bukan tentang dia, aku tidak akan sepenuhnya ingat. Setelahnya, seharian aku akan merasa bersalah pada Bernard karena merasa mengkhianatinya dengan mantan kekasih dalam mimpi.
Setiap kali dihantui mimpi, aku pun selalu mempertanyakan apa arti dari mimpi itu. Apakah lewat mimpi ada pesan yang ingin mereka sampaikan padaku? Apakah ada kerinduan yang mereka sampaikan padaku? Atau sebaliknya? Justru akulah yang merindukan mereka? Atau.. aku hanya terlalu banyak berpikir dan mimpi hanyalah mimpi. Kata orang, mimpi hanyalah bunga tidur. Entah apa artinya. Sempat pula aku berpikir, apa jangan-jangan aku belum benar-benar melupakannya? Atau ini adalah sekadar ujian untuk mengukur kesetiaanku pada Bernard?
Tadi malam, aku memimpikan Evan. Mantan kekasihku sebelum Bernard. Di dalam mimpi itu, ia sudah menikah dengan istrinya saat ini. Aku pun sudah berhubungan dengan Bernard. Tapi tiba-tiba aku dan Evan berada di sebuah taman. Sambil memegang kedua tangan dan menatapku lekat-lekat, Evan mendekatkan wajahnya dan bilang, “Kamu tahu..aku tidak pernah bisa benar-benar melupakan kamu. Tidak pernah bisa mencintai dia seperti mencintai kamu.” Ia merasa bodoh telah meninggalkanku dan ingin kembali. Sebelum akhirnya aku terbangun, mimpi itu ditutup dengan Evan mengecup tanganku dan berkata bahwa kenangannya bersamaku tak lekang oleh waktu dan ia pun rela meninggalkan istrinya untukku! Mimpi yang serupa, tentang Evan ingin kembali padaku, tidak hanya datang satu-dua kali. Tapi berkali-kali. Belakangan, menjelang pernikahanku dengan Bernard, mimpi itu lebih sering datang.
Aku tahu, hubunganku dan Evan tidak berakhir tuntas. Seperti ada yang belum selesai dari hubungan kami. Tapi memikirkan ini, aku kembali bertanya-tanya. Memang ada hubungan yang berakhir tuntas? Bukankah hubungan yang berakhir memang artinya ada yang belum selesai? Jika selesai, tidak mungkin putus, kan? Walaupun aku mengakui, setelah kami putus dan aku tak sedang berhubungan dengan siapapun, ada sedikit pengharapan kami akan kembali suatu saat. Pengharapan itu pun sirna setelah ia menikah lebih dulu.
Mendengarnya menikah bukanlah sesuatu yang mudah untukku. Walaupun saat itu mungkin perasaanku sudah tidak lagi sama padanya. Tapi rasanya sesak sekali tahu ia menikah dengan perempuan lain dalam kurun waktu yang tidak begitu lama setelah kami putus. Ketika aku masih berusaha menjalankan hidupku tanpanya dan tidak terburu-buru berhubungan dengan orang lain, ia justru sudah maju 10 langkah. Entah ini perasaan cemburu karena aku masih punya perasaan padanya atau ini hanyalah perasaan kalah ia menikah lebih dulu di saat aku masih berjuang mencari apa yang aku mau dalam hidup.
Bicara tentang Evan pasti akan selalu membuatku sesak. Di satu sisi, sesak karena begitu banyak kenangan yang kami lalui bersama. Di sisi lain, sesak karena perasaan bersalah padanya yang tak kunjung usai. Hingga saat ini. Setiap kali aku dengar namanya, rasa bersalah itu langsung merasuki pikiran. Membuat detak jantung ini tiba-tiba berhenti mendadak. Meski ia sudah pernah memberikan maaf padaku, rasanya tidaklah cukup. Rasanya aku perlu dihukum lebih kejam dari itu. Mungkin itulah hukuman yang aku berikan pada diri sendiri. Aku menghukum diriku seumur hidup dengan perasaan bersalah.
***
Aku bertemu Evan di hari ulang tahunku ke-27. Tiga tahun lalu. Hari itu juga bertepatan dengan hari rilis film Grease. Seperti biasa, aku dan Mami merayakan ulang tahun di sinema. Ritual kami setiap tahun. Grease adalah film yang ditunggu-tunggu banyak orang. Tidak heran, di hari pertama film itu rilis semua orang rela antre berjam-jam untuk mendapatkan tiket. Sebalnya, di Almonda hanya ada 2 bioskop. Bayangkan di ibu kota yang metropolis ini hanya memiliki 2 bioskop untuk memuaskan hasrat sinematik penduduknya yang berjumlah ribuan. Aku sudah menggerutui ini pada Mami. Tapi Mami selalu bilang, “Pelan, pelan yah sayang. Tidak secepat itu Amygda Land bisa berkembang.”
Tentunya melihat antrian yang mengular, aku tidak tega meminta Mami menemaniku antre. Jadilah aku sendirian di antrean yang memakan waktu lebih lama dari durasi film itu sendiri. Di sanalah aku bertemu Evan. Ia persis berada di depanku, menutupi pandangan karena tubuhnya yang menjulang tinggi. Tiba-tiba, tidak ada angin, tidak ada hujan, ia menengok ke belakang dan memulai pembicaraan.
“Kamu suka film ini?”, tanyanya dengan paparan sinar mata nan lembut. Berusaha menutupi kecanggungan berbicara pada orang asing yang…menarik perhatian, aku menjawab sekenanya. “Iya”, sambil memalingkan wajah ke sisi jalan, tak berani menatap balik matanya.
“Kenapa banyak perempuan yang tergila-gila pada film drama, ya?”, tanyanya lagi basa-basi.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata aku meresponnya dengan mengangkat bahu ditambah wajah tak peduli.
“Tidak suka ya bicara dengan orang asing?”
“Well..”
“Okay..fine..Mau permen?”
“No, thanks.”
“You are not from here or you are just an arrogant brat trying to ignore me by speaking English?”
Aku membelalakkan mata. Terkejut karena dia tidak menyerah dan terus berusaha mengajakku bicara, sekalipun aku tidak membalas dengan bahasa Indonesia. Biasanya orang-orang yang lebih suka berbicara bahasa Indonesia di Amygda Land malas membalas dengan bahasa Inggris. Bukannya tidak mengerti, tapi karena sikap nasionalis mereka yang menganak-tirikan bahasa Inggris.
“Maaf. Aku cuma merasa tidak terbiasa berbicara dengan orang asing”, jawabku sekitar satu-dua menit kemudian sambil menahan rasa malu. Apa ini cinta pada pandangan pertama? Tanyaku dalam hati. Padahal selama ini aku adalah orang yang paling skeptis pada kepercayaan itu. Selama ini aku selalu tidak percaya ada orang yang bisa jatuh cinta hanya dari sekali lihat. Dalam hatiku bergemuruh. Detak jantungku berlarian tidak karuan. Aku tidak pernah “digoda” pria yang tidak aku kenal. Di tempat umum pula!
“Relaks. Aku bukan pembunuh berantai. Evan”, tangannya menyambut tanganku.
“Amala.”
“So..Amala, kenapa kamu suka Grease?”
“Olivia-Newton.”
“I see..Mamaku juga. Aku hanya menemani Mamaku saja ke sini. Kamu nonton sendiri?”
“Sama Mami. Dia menunggu di restoran dekat sini.”
“Wah..Mamaku dan Mamimu bisa jadi teman baik kalau kita nonton bersama. Setelah mereka berteman, mungkin kita juga bisa berteman?”
Aku mulai merasakan panas di wajah. Sepertinya pipiku akan berubah jadi tomat. Sampai-sampai aku tidak menyiapkan respon untuk jawabannya dan hanya bisa merapikan rambut ke belakang telinga. Entah untuk apa. Sepertinya Evan menyadari gelagatku yang canggung. Ia pun berusaha menyelamatkanku dari keheningan yang penuh dengan rasa malu itu.
“Hahaha.. Aku bercanda. Kalau kamu tidak mau jadi teman, tidak masalah. Aku yakin kamu tidak butuh satu teman lagi. Apalagi aku orang asing. Tapi paling tidak, bisa tidak kita jadi teman antre? Bosan sekali rasanya menunggu antrean sendiri. Paling tidak, kamu jadi teman bicaraku sekarang saja, mau?”
Tanpa membalas sepatah katapun, aku menganggukkan kepala pelan sambil tersenyum tipis.
“Nama panjang kamu siapa?”, lanjut Evan menyambut anggukkanku.
“Amala Dewi Hamilton.”
Sekejap Evan membelalakan mata tak percaya, “Klan Hamilton?”
“Umm..iya.”
“Wow! Beruntung sekali aku bertemu dengan bangsawan.”
“Kami bukan bangsawan!”, buru-buru aku mengoreksi pernyataannya sambil memperlihatkan raut wajah tak terima.
“Ok-ok. Sorry, Miss. It’s a compliment.”
“Mami selalu bilang, keluarga kami bukan bangsawan. Kami justru pelayan rakyat. Tidak seharusnya mendapatkan perlakuan istimewa. Maka dari itu, kami diajarkan untuk menjalani kehidupan selayaknya orang biasa. Tidak ada perlakuan istimewa. Dan aku bukan anak manja!”
Konstan tangannya memegang bahuku, berusaha memotong untuk meredamkan amarahku yang meluap-luap tanpa kenal waktu, “Hey..hey..aku tidak pernah bilang kamu anak manja”, suaranya yang meneduhkan membuatku berhenti bicara. “Kenapa? Kamu punya pengalaman buruk karena nama keluarga?”
“Begitulah..”, suaraku bergetar akibat memori masa kecil yang terlintas di benak sekaligus bingung bagaimana mengatur perasaanku yang campur aduk karena tak perhatiannya padaku.
“Sepertinya kita akan butuh waktu lebih lama untuk mendengarkan ceritamu, ya?”, balasnya terkekeh.
***
Dering telepon membuyarkan ingatanku tentang Evan sekaligus mengingatkanku bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku. Sepuluh Agustus. Hari ulang tahunku yang juga jadi hari pertama kali aku dan Evan bertemu. Di pertemuan pertama kali, kami sudah saling mengenalkan orang tua. Mamanya dan Mami pun bisa cepat akrab. Aku merasa semesta sengaja mempertemukan kami secara kebetulan. Seperti takdir, semua sudah digariskan. Tidak lama dari pertemuan itu pun, Evan mengajakku kencan. Sebenarnya bukan kencan, tapi mengajakku ke tempatnya bekerja. Ia ternyata seorang koki di sebuah restoran bintang lima, The Champ. Kebetulan, hari itu dia sedang tidak bekerja dan sengaja mengajakku ke sana karena diskon karyawan.
Di saat itulah aku tahu bahwa aku tidak pernah merasakan perasaan ini pada siapapun selama 27 tahun. Evan adalah orang pertama yang berhasil membuatku bisa terbebas dari segala kekangan nama keluarga yang seolah mengharuskanku memberi batasan pada orang banyak. Ia adalah orang pertama yang bisa membuatku menjadi diri sendiri, bukan Amala Dewi yang berasal dari keluarga petinggi Amygda Land. Bukan Amala Dewi yang seorang pianis prodigy yang sedari kecil sudah menerima penghargaan bertaraf internasional. Seketika aku penasaran mengetahui kabarnya sekarang. Apakah mimpi itu berarti aku harus menghubunginya?
“Halo?”
“Lala, kamu ingat hari ini kita pergi ke Anglia?”, suara berat Bernard terdengar dari balik gagang telepon.
Balasku setengah bersemangat, “Uhmm..iya. Maaf aku agak kesiangan. Kamu jemput jam berapa?”
“Saya sampai pukul 11.00.”
“Okay. See you.”
Bernard pasti akan menanyaiku nanti. Ia pasti tahu ada yang salah denganku. Tidak biasanya aku bangun terlambat. Aku adalah orang yang paling tepat waktu. Jika aku terlambat, pasti ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Gawat! Aku harus bilang apa padanya? Tidak mungkin aku jujur baru saja memimpikan Evan. Aku tidak pernah menyebut nama Bernard di depannya. Tidak pernah sama sekali. Tapi seharian ini, aku tidak bisa berkutik. Aku akan bersamanya selama delapan jam perjalanan darat ke Anglia. Tidak mungkin aku terus-terusan mengalihkan pembicaraan. Ah, mungkin aku bilang saja sedang datang bulan. Bernard pasti tidak akan bertanya lagi.
Tidak seharusnya aku memikirkan Evan di saat aku dan Bernard tengah mempersiapkan pernikahan kami. Kepergian kami ke Anglia juga bukan sekadar alasan untuk merayakan ulang tahunku saja. Kami akan mengadakan pernikahan di sana bulan depan. Jadi, satu minggu ini kami akan disibukkan oleh berbagai pilihan. Walaupun sebenarnya Mami sudah membantu menyiapkan hampir delapan puluh persen rencana, tapi aku ingin tetap mengunjungi Anglia sebelum acara pernikahan kami nantinya.
Anglia bukan saja menjadi tempat bersejarah untuk aku dan Bernard. Tapi juga jadi tempat bersejarah bersama Evan.
***
Baru satu bulan aku dan Evan dekat, kami sudah merencanakan liburan bersama ke Anglia. Anglia adalah kota favoritku di pulau ini. Rasanya bebas sekali di pulau yang terpisah dari ibu kota itu. Evan setuju kami akan bergantian mengendarai mobil untuk melintasi pulau. Ia sudah mengambil cuti tiga hari dari restoran. Kami sungguh antusias hingga akhirnya liburan itu tiba. Sepanjang perjalanan darat yang panjang, kami mengenal satu sama lain lebih dekat, lebih dalam. Aku bercerita tentang masa kecilku yang kelam karena tidak punya banyak teman. Setiap kali aku mencoba berteman di sekolah, mereka langsung menjauhiku saat tahu status sosial dan nama keluargaku. Hingga akhirnya aku merengek pada Mami untuk belajar di rumah di usia 8 tahun. Saat itulah aku mulai menekuni dunia musik. Meskipun sedari kecil aku sudah terus berlatih, tapi karena punya waktu lebih banyak saat tidak harus ke sekolah, aku dan piano seakan tak terpisahkan.
Beranjak remaja, aku tetap tidak punya teman yang benar-benar tulus. Kala itu, bukannya menjauhi, mereka justru seperti memanfaatkan nama keluargaku untuk ketenaran. Tentu aku tidak bisa berteman dengan orang semacam itu. Aku lebih baik sendirian ketimbang punya teman untuk panjat sosial. Akhirnya, teman-temanku adalah anggota keluargaku. Mami, papi, dan sepupu-sepupuku yang tinggal cukup berjauhan. Mungkin itu juga yang membuatku enggan mencari kekasih. Selama 27 tahun aku tidak berminat memiliki hubungan dengan siapapun. Aku tidak pernah menceritakan semua kisah itu sebelumnya pada orang lain di luar orang tuaku. Evan adalah orang pertama yang tahu betapa kesepiannya aku tidak memiliki teman dekat di luar keluarga.
Di perjalanan itu, aku pun tambah mengagumi Evan. Ia adalah anak terakhir dari dua bersaudara. Meskipun sangat menyukai dunia masak-memasak, tapi Evan belum punya ambisi untuk memiliki restoran sendiri layaknya para koki lain. Ia sudah cukup puas dengan apa yang dimilikinya saat ini. Ia hanya ingin melakukan apa yang ingin dilakukan saat ini. Urusan besok, biarlah menjadi masalah esok hari. Berkebalikan denganku yang harus sudah merencanakan seminggu, dua minggu, hingga satu bulan ke depan. Aku tidak bisa seperti Evan yang hanya hidup di hari ini. Mami selalu mengingatkanku untuk selalu punya rencana. Bahkan satu rencana harus punya rencana lain. Satu atau dua rencana saja tidak cukup. Di perjalanan panjang itu, aku semakin mengenal Evan. Ia adalah seorang pendengar yang baik, seseorang yang tidak suka merespon. Menurutnya, ia lebih baik mendengarkan saja ketimbang salah merespon. Jawaban yang kurang memuaskan, sebenarnya. Tapi, pasti nanti ada waktunya kami bisa sama-sama belajar memperbaiki. Begitu pikirku saat itu.
Kami pun tiba tepat dengan perkiraan. Delapan jam lebih sedikit. Keluarga kami memiliki rumah di sana. Bertetangga dengan uncle (adiknya Ami). Evan terlihat takjub ketika sampai di sana. Aku berusaha memperlihatkan padanya bahwa kami sebenarnya keluarga biasa. Rumah ini hanyalah hadiah yang kami terima karena kakek orang terpandang di Amygda Land. Tapi Evan terlihat tidak nyaman. Seolah ia tidak pantas berada di dalam rumah. Tanpa menunggu lama, ia mengajakku keluar dan berkeliling.
“Kamu kenapa?”, tanyaku memastikan Evan baik-baik saja.
“Kaget. Kamu ternyata memang bangsawan.”
“Ev, aku orang biasa. Please, don’t change.”
Raut wajah Evan berubah muram, “Kamu tidak malu bersama aku yang orang biasa ini? Harusnya kamu cari orang yang sepadan, Ya..”
“Kamu sepadan buatku. Kamu tuh kenapa, Ev? Kenapa kamu jadi tidak percaya diri begini? Bukannya kamu yang bilang kita bisa berhemat dengan menginap di rumahku?”
Evan terdiam, tidak menjawab sepatah kata dan hanya memandangi hamparan pasir putih yang meninggalkan bekas jejak kakinya. Aku pun berusaha menghiburnya dan mengubah suasana. Bergegas aku berdiri di hadapannya, seketika menghentikan langkah Evan dan memaksanya memandangku. Lalu, aku kalungkan kedua tanganku di lehernya sambil tersenyum, “I choose you. You. I don’t want anyone else, okay?”
Evan tersenyum tipis dan menyambut sentuhanku. Ia menenggelamkanku di dalam pelukannya sambil tetap terdiam. Waktu seolah terhenti. Hanya suara detak jantungnya yang terdengar, diikuti suara hempasan ombak dan burung-burung. Perlahan, ia melepaskan pelukannya, memenuhi kedua tangannya dengan wajahku sambil menatapku lekat-lekat. “I love you, Amala Dewi.”
***
Tanpa menunggu terlalu lama, aku dan Bernard memulai perjalanan kami ke Anglia. Diantar supir yang ditemani seorang supir pengganti yang duduk di kursi depan, kami tidak banyak bicara kurang lebih selama satu jam lamanya. Entah apa yang merasuki pikiran kami berdua. Tidak ada sepatah kata pun yang ingin kami lontarkan selama perjalanan. Di dalam mobil Cadillac itu, hanya suara alunan musik dari radio yang terdengar. Aku dan Bernard sama-sama memalingkan wajah ke arah jendela masing-masing. Sesekali, ibu jarinya menyentuh punggung tanganku. Tetap tidak bersuara. Begitulah kami, seperti bisa telepati. Tanpa berbicara apapun, kami sudah memahami pikiran dan perasaan masing-masing. Itulah juga yang aku sukai darinya. Ia selalu cepat tanggap jika ada yang mengganggu pikiranku. Tapi, tidak pernah memaksa untuk menceritakan apapun jika aku belum siap. Di saat-saat seperti inilah aku merasa bersalah. Mengapa aku harus memikirkan orang yang sudah tenggelam di masa lalu ketika aku sudah memiliki seseorang untuk masa depanku?
***
Enam bulan setelah liburan kami di Anglia, aku dan Evan mulai menunjukkan “warna” diri masing-masing. Kata orang, semakin kita mengenal seseorang lebih baik, akan lebih banyak pertengkaran yang terjadi karena semakin tipis batas yang dibuat. Pertengkaran kami pun seringnya berkutat di hal yang itu-itu saja. Setiap kali aku mulai membicarakan masa depan, Evan mulai malas membalas. Biasanya ia akan mengalihkan perhatianku dengan topik lain. Tapi ia tidak pernah benar-benar bilang apa yang dipikirkannya dan inilah yang sangat menggangguku. Sulit sekali untuk memahaminya dan tahu apa yang sebenarnya ia inginkan. Setiap kali aku mendesaknya untuk berkata jujur tentang pikiran dan perasaannya, Evan selalu marah dan pergi menghindari pertengkaran. Tidak jarang, kami tidak berkomunikasi berhari-hari. Bahkan hingga satu minggu. Tidak ada telepon, surat, atau apapun. Tidak mungkin aku sebagai perempuan yang menghubunginya duluan, kan?
Hubungan kami pun baru akan membaik ketika wacana berlibur dikumandangkan. Seolah berlibur menjadi cara berkomunikasi kami untuk menjalin hubungan. Kali ini kami pergi untuk merayakan ulang tahunnya di Singapura. Semua telah aku rencanakan dengan sempurna. Mulai dari tiket pesawat hingga penginapan, semua sudah aku tanggung. Pergilah kami selama tiga hari di akhir pekan. Tapi seperti biasa, setiap kali kami berlibur pasti ada pertengkaran di antara kami berdua. Kenapa kami tidak pernah bisa bahagia-bahagia saja tanpa prahara? Lagi-lagi masalahnya pun sama. Soal masa depan. Satu bulan lalu, aku mendapat kabar bahwa aku terpilih menjadi salah satu kandidat untuk mendapatkan artist in residence di Belanda. Tentu ini menjadi kesempatan yang aku tunggu-tunggu. Sudah sejak lama aku ingin mendapatkannya. Tapi ketika aku menanyakan pada Evan, bagaimana kalau aku sampai mendapatkan kesempatan itu lalu menetap di Belanda. Secara tersirat aku menyatakan keinginanku untuk Evan ikut ke Belanda. Aku pikir ia bisa jadi seseorang yang bersemangat mendengar kabar ini dan tanpa banyak berpikir akan berjuang untuk tetap bersama. Ternyata reaksinya tidak seperti yang aku bayangkan. Ia hanya bilang “good for you” dengan wajah yang setengah datar.
“Aku tidak mungkin meninggalkan mama”, lanjutnya lirih.
“Ev, maksud aku juga bukan begitu. Tapi kalau kita beranjak dewasa bukannya pasti akan meninggalkan orang tua, ya?”
“Not me. Paling tidak, tidak sejauh itu”, kini suaranya terasa berat diikuti dengan helaan napas panjang.
Tiba-tiba dalam diriku seperti ada dorongan kuat untuk mendapatkan kejelasan akan masa depan dengan, “Can I ask you something, Ev?”
“Sure.”
“Have you..have you ever thought to marry me someday? Not today or next year…just. just someday?” aku tergagap, hatiku bergetar diliputi dengan kegalauan jawaban Evan yang mungkin saja menolakku.
Wajahnya berpaling padaku dengan kedua tangannya memegang bahuku dan matanya menatapku lekat, “Hey….it should be me to propose you”, berusaha menenangkan, ia pun menutup argumen kami dengan kecupan di keningku dan mengarahkan lenganku untuk memeluknya.
***
Sesampai kami di Anglia, Bernard langsung menunjukkan sisi kepemimpinannya. Ya, ia memang piawai mengarahkan orang lain untuk mengerjakan sesuai perintahnya. Sedangkan aku masih tidak bisa fokus dengan persiapan pernikahan kami. Sepanjang perjalanan, aku terus memikirkan apakah perlu untuk mendapatkan pertanda. Aku merasa yang membuatku resah seperti ini adalah karena ada yang belum selesai antara aku dan Evan. Walaupun ketika putus, kami benar-benar sudah selesai. Tanpa ada yang mencoba untuk memperjuangkan satu sama lain. Tapi, aku selalu merasa keputusan yang aku buat dulu hanyalah karena emosi belaka. Aku hanya ingin Evan memperjuangkanku. Hanya ingin melihat sedikit harapan di masa depan dengannya. Sayangnya, ia bukanlah pria seperti itu. Ketika aku menyudahi, ia pun setuju. Tidak banyak argumen, isak tangis, atau memohon untuk memperbaiki. Ia hanya bilang, “Kalau ini yang membuat kamu bahagia, mari kita selesaikan hubungan ini.”
Mendengarnya setuju dengan keputusan sepihak yang aku buat justru membuatku semakin mempertahankan ego. Ego yang menuntunku pada penyesalan dan akhirnya menyangkal bahwa mungkin hingga saat ini masih ada setitik perasaan dalam hatiku untuknya. Tapi jika dipikirkan kembali, bukankah wajar jika kita akan tetap memiliki setitik perasaan pada seseorang di masa lalu? Bagaimana pun mereka pernah ada di hidup kita. Tidak mungkin memori yang akhirnya membentuk perasaan kita padanya hilang begitu saja. Meski perasaan itu sudah terbuang ke dasar alam bawah sadar kita, memori dan perasaan itu bisa saja tiba-tiba muncul kembali ke permukaan jika teringat.
Aku hanya perlu satu mimpi lagi tentang Evan yang dapat membuatku melanjutkan hidup. Satu mimpi yang dapat menjadi petunjuk bahwa ia adalah seseorang di masa laluku dan tidka akan mungkin terjadi apapun di kemudian hari dengannya. Aku akan menikah dengan Bernard, seseorang yang aku pilih untuk menjadi pria terakhir dalam hidupku. Aku pun memaksa diri untuk sekejap memejamkan mata dan berharap akan bertemu Evan dalam mimpi siang itu.
***
“Hey..”, sapa Evan sambil tersenyum. “Semuanya akan baik-baik, saja, Amala Dewi.”
“Kamu bahagia, Ev?”, tanyaku lirih.
“I am. Are you?”
“I don’t know..”
Evan membuka tangannya menyambutku untuk mendekapnya. Aku pun masuk ke dalam pelukannya yang hangat.
“Aku cemburu”, bisiknya.
“Kenapa?”
“Hanya cemburu karena tidak bisa bersamamu. Tapi, ini tidak akan mengubah apa-apa. Aku tetap sudah menikah. Kamu juga.”, Evan melepaskan pelukannya perlahan sambil kembali tersenyum.”
“Kenapa, Ev? Ev?!”
“La, la, Lala..”, seru Bernard dengan lembutmembangunkanku dari tidur yang terasa panjang namun ternyata singkat sekali. “Kamu ketiduran, mau istirahat saja? Biar saya yang menyelesaikan di sini.”
“Ah..iya, maaf. Mungkin karena dia sedang aktif di dalam.”, balasku sambil mengelus perut yang belum terlihat buncit.
“Ya, sudah. Kamu istirahat saja di kamar. Saya yang selesaikan. Kasihan dia butuh istirahat juga”, gantian Bernard yang sekarang mengelus perutku.
Ketika Bernard tahu aku hamil, ia bahagia sekali. Katanya, inilah yang ia inginkan. Aku pun. Aku ingin punya keluarga. Aku adalah anak tunggal yang sering sekali merasa kesepian. Apalagi kedua orang tuaku adalah orang terpandang yang sering meninggalkanku sendiri dengan segala kewajiban dan pengabdian mereka pada negara ini. Tapi entah kenapa dalam hatiku ada sedikit rasa khawatir. Khawatir karena sebenarnya aku tidak benar-benar bahagia bersama Bernard. Aku terlalu sering membandingkan dia dengan Evan dalam pikiranku. Padahal, hubunganku dengan Bernard lebih lama ketimbang hubunganku dengan Evan. Tapi, tetap saja. Semua terasa berbeda. Aku merasa terlalu banyak yang aku paksakan ketika bersama Bernard. Seolah ada yang salah dengan hubungan ini. Apakah ini benar-benar yang aku inginkan? Menikah dan berkeluarga dengan Bernard? Apakah aku benar-benar bahagia bersama Bernard?
“Mimpi sialan!”, umpatku sambil berjalan ke kamar. “Aku harus bahagia. Aku bahagia!”, seruku pada diri sendiri dan pada sang cabang bayi yang beranjak 4 bulan. “Aku tidak bisa begini. Kasihan dia kalau aku tidak bahagia. Aku bisa bahagia untuk dia. Ya, aku bisa!”, aku berusaha meyakini diri sendiri. “Semua itu hanya mimpi, Amala. Hanya mimpi! Ayo kembali ke kenyataan!”