Sejak zaman Renaissance, perspektif melihat karya seni menyatu pada seorang penikmat saja yang hanya bisa berada di satu tempat pada satu waktu. Hal ini dtujukan untuk melihat sebuah gambar atau tampilan sebagai sesuatu yang abadi (Berger, 1972: 16). Lukisan, misalnya, hanya bisa dinikmati di pameran seni saja pada periode waktu tertentu. Rodini memaparkan bahwa pada masanya, pameran lukisan di berbagi museum di Eropa terkesan hanya ditujukan untuk para kaum elite, mengingat lukisan-lukisan yang ditampilkan merupakan koleksi pribadi mereka. Akan tetapi, berkembangnya masa industrial dengan bertambahnya kaum intelek, museum-museum seni pun mulai terbuka untuk umum dengan tujuan edukasi. Tidak hanya fungsi museum seni saja yang berubah, fotografi juga mengubah cara melihat sebuah karya seni. Berger pun memaparkan bahwa sejak fotografi diperkenalkan, sebuah karya seni dapat dilihat di mana saja dan kapan saja.
Berger juga meyakini bahwa ketika kita bisa melihat karya dari masa lalu, kita bisa menempatkan diri pada konteks sejarah saat karya itu diciptakan. Pemaparan Berger tersebut sejalan dengan apa yang terjadi pada museum-museum seni. Kita dapat melihat dan menikmat karya-karya seni seperti lukisan dari para seniman berabad-abad lalu yang juga menampilkan nilai-nilai kesejarahan yang tersemat pada masa karya tersebut diciptakan, serta tokoh-tokoh di balik karya yang berkontribusi mengembangkan berbagai bidang. Leonardo Da Vinci, misalnya, adalah salah satu seniman terkenal di dunia yang namanya sekaan tidak lekang oleh waktu. Karya-karyanya selalu menjadi bahan diskusi seolah abadi hingga di zaman modern seperti sekarang ini. Tidak heran ketika karya-karyanya ditampilkan di ruang-ruang publik, masyarakat begitu antusias untuk menikmatinya. Pada majalah National Geographic edisi Mei 2019, ulasan mengenai Leonardo Da Vinci beserta karya-karyanya terpampang di Museum Louvre di Paris, Perancis, di Istana Windsor, Inggris, dan lainnya, memperlihatkan bagaimana masyarakat masih antusias menikmati karyanya. Bahkan, pada salah satu foto yang diambil oleh jurnalis majalah tersebut tertangkap gambaran para pengunjung menangkap lukisan Leonardo Da Vinci dengan smartphone mereka di dalam exhibisi seni di Istana Windsor.
Pengunjung mengambil foto lukisan Leonardo Da Vinci “Adoration of the Magi” di Istana Windsor
Foto yang diambil oleh jurnalis majalah National Geograhy tersebut dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari fotografi publik (public photography) karena terjadi reproduksi gambar yang disebarluaskan dalam media yang dikonsumsi masyarakat luas. Mengacu pada pemahaman Berger, fotografi publik banyak memaparkan citra-citra tertentu pada masyarakat yang dapat mendorong reaksi. Hal ini dapat mendorong terjadinya kebudayaan yang homogen dan komodifikasi. Foto suasana yang terjadi di dalam Istana Windsor tersebut dapat menyiratkan: (1) keindahan lukisan klasik seniman tersohor dunia Leonardo Da Vinci yang langka ditemukan di tempat lain karena merupakan koleksi pribadi Ratu Inggris, (2) kemudahan akses masyarakat untuk menikmati dan mengalihwahanakan lukisan menjadi gambar untuk tujuan personal. Maka, melalui foto yang dipublikasikan di dalam majalah National Geography tersebut, kita dapat melihat proses reproduksi foto publik menjadi foto personal. Secara tidak langsung, foto publik yang dipublikasi tersebut dapat dipertimbangkan memiliki fungsi untuk menngiklankan kejadian fenomenal agar dapat menjadi sesuatu yang viral.
Berger memaparkan bahwa fotografi personal memungkinkan penikmat gambar untuk menciptakan ruang personal dengan tujuan untuk refleksi dan introspeksi, yang juga dapat dimanfaatkan untuk mengembalikan kenangan dan mendapatkan harapan. Akan tetapi, ia juga menyatakan bahwa dengan mereproduksi sebuah gambar, makna dari gambar yang orisinal akan berubah. Keunikan sebuah karya tidak lagi tertuang dalam gambar yang baru. Terutama jika ada unsur komersial yang tersemat, seperti ketika foto karya lukisan Leonardo Da Vinci dipublikasikan di majalah sehingga lebih banyak orang tertarik untuk berkunjung dan menikmatinya. Di satu sisi, menangkap gambar untuk tujuan personal bukanlah sesuatu yang menyimpang. Namun di era media sosial seperti sekarang ini, fotografi personal ditujukan untuk alasan pembuatan konten yang mengandung inisiatif yang cenderung dangkal.
Perlu diakui, kecanggihan teknologi yang meningkatkan produksi smartphone atau telepon genggam pintar memang dapat mendorong masyarakat untuk lebih akrab dengan fotografi. Terutama ketika munculnya media sosial seperti Instagram yang dirancang untuk membagikan hasil foto. Keberadaan teknologi sekaligus meningkatkan popularitas fotografi sehingga menjadi sesuatu yang lumrah dan memudahkan masyarakat dalam golongan apapun untuk mengasah kreativitasnya. Di sisi lain, reproduksi gambar yang dihasilkan oleh smartphone yang kemudian dipublikasi dalam ruang-ruang publik yaitu media sosial dapat mereduksi nilai estetika gambar asli seperti lukisan Leonardo Da Vinci tersebut.
Kini, ruang-ruang pameran seni di Indonesia yang telah dipublikasikan di media cetak, daring, maupun di media sosial, mulai berubah fungsi. Perubahan ini juga diikuti oleh adanya strategi pemasaran yang dilakukan oleh pihak-pihak museum atau exhibisi seni, seperti Museum MACAN, yang mempublikasikan karya-karya seni di media sosial. Penyebaran karya sastra eWOM yang juga diartikan electronic Word of Mouth melalui media sosial dapat meningkatkan popularitas museum seni menjadi destinasi wisata. Reproduksi foto publik menjadi foto personal para pengunjung yang diunggah ke dalam media sosial menjadi faktor yang signifikan untuk menarik pengguna akun lainnya untuk turut meramaikan museum karena ingin melakukan hal yang sama (Samantha & Adiati, 2020). Sangat disayangkan jika pengunjung yang datang ke museum hanya untuk alasan destinasi wisata karena popularitasnya, bukan untuk memelajari seni dan budaya yang tersemat di setiap karya. Sebaliknya, hanya untuk menciptakan konten-konten dalam tujuannya mendapatkan popularitas di media sosial seperti like dan follower. Proses budaya populer yang terjadi ini dapat mengurangi nilai dari karya seni itu sendiri dan mungkin mengurangi niat-niat filosofis para tokoh di balik karya untuk menciptaka karya-karya yang kritis.
Daftar Pustaka
Berger, J. (1972). Ways of Seeing. London: Penguin Books Ltd. Rodini. E. The changing social functions of art museums.
https://www.khanacademy.org/humanities/approaches-to-art-history/tools-for-understanding-
museums/museums-in-history/a/the-changing-social-functions-of-art-museums diakses 20 Mei 2022
Samantha, P, Adiati, M. (2020). Efek E-Word Of Mouth (E-Wom) Terhadap Destination Image Di Museum Macan Jakarta. Journal Fame, Vol (3) No. 2.