An Inconvenient Truth, Dark Waters

“We met at the wrong time. That’s what I kept telling myself anyway. Maybe one day, years from now we’ll meet in a coffee shop in a far away city somewhere and we could give it another shot.” – Eternal Sunshine of the Spotless Mind

Setelah menyelesaikan serial TV “The Good Place”, yang banyak menyampaikan tentang etika dan moral, terdapat satu pertanyaan yang menghantui saya: “What do we owe to each other?”. Pertanyaan ini menggema di kepala saya dan seolah mendorong seluruh saraf di dalamnya untuk bahu-membahu mencari jawabannya.

Tak lama kemudian, saya menyaksikan “An Inconvenient Truth” (2006) dan “Dark Waters” (2019). Kedua film ini sama-sama bertema lingkungan dan mengekspos dua pegiat lingkungan yang hingga kini masih dalam perjuangan melawan berbagai pihak untuk menyelamatkan bumi. Secara singkat “An Inconvenient Truth” adalah film dokumenter tentang perjuangan Al Gore yang menyebarkan semangat menyelamatkan lingkungan dengan pergi dari satu kota ke kota lain. Satu negara ke negara lain, membawa serta presentasi yang lengkap dengan data dari berbagai penelitian tentang perubahan iklim akibat kerusakan alam.

Ia bahkan sempat mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat agar dapat menciptakan perubahan gaya hidup orang Amerika yang merugikan lingkungan. Sayangnya, ia tidak terpilih. Ya, tentu saja ia tidak terpilih. Terlalu banyak bisnis di sana yang akan terancam eksistensinya jika ia menjadi presiden dan mengubah tatanan pemerintahan. Bukannya tidak mungkin keuntungan bisnis pun akan berkurang karena perubahan tersebut.

Dalam film dokumenter ini, kita bisa menyaksikan materi seminarnya yang memaparkan bagaimana kondisi bumi saat itu. Bumi menjadi semakin panas hingga luas wilayah Antartika menyusut akibat es yang mencair. Padahal, keberadaan es di Antartika sangat berperan sebagai penyeimbang iklim di bumi. Dari semua adegan yang ditayangkan, yang paling membuat jantung saya berdegup kencang adalah peningkatan permukaan air di bumi akibat pemanasan global. Al Gore bahkan menyebutkan bahwa pemanasan global menjadi salah satu faktor Jakarta sering mengalami kebanjiran dan berpotensi untuk tenggelam cepat atau lambat.

Bayangkan, prediksi tersebut sudah dinyatakan dalam film yang dibuat tahun 2006. Belasan tahun kemudian kita tetap belum menemukan solusi dan benar-benar beraksi nyata untuk mengurangi pemanasan global. Sampai sekarang pun Al Gore masih berkeliling dunia untuk memperlihatkan riset terbaru yang ditemukan sebab hingga sekarang, perubahan masih sangat minim dilakukan.

Sementara itu, film “Dark Waters” yang diperankan oleh Mark Ruffalo dan Anne Hathaway, menceritakan sebuah kisah yang berasal dari berita di salah satu koran New York Times. Film ini menyoroti seorang pengacara asal Cincinnati, Ohio, yang memutuskan untuk mengambil kasus limbah pabrik penggorengan, Teflon, yang diproduksi oleh DuPont. Selama puluhan tahun, perusahaan ini telah memproduksi peralatan masak yang menggunakan bahan kimia berbahaya. Ditemukan bahwa ternyata limbah dari bahan kimia tersebut mencemari lingkungan dan membunuh banyak orang di sekitar pemukiman pembuangan limbah. Selain itu, banyak pula karyawan yang bekerja bertahun-tahun di perusahaan tersebut mengidap kanker atau melahirkan anak difabel saat bekerja di sana.

Robert Bilott (Mark Ruffalo) yang akhirnya mengambil kasus tersebut memperjuangkan kehidupan para warga yang terkena imbas limbah berbahaya perusahaan DuPont mempertaruhkan waktu, tenaga, uang hingga keluarganya. Sidang demi sidang dilalui tanpa hasil maksimal hingga saat ini. Ia masih memperjuangkan tanggung jawab perusahaan DuPont terhadap para warga dan bermaksud untuk menghentikan produksi yang berbahaya tersebut.

Melihat kegigihan dua tokoh nyata ini, saya pun kembali pada pertanyaan di awal, “What do we owe to each other?”. Kita berhutang apa pada satu sama lain? Menurut saya, kita berhutang pada Al Gore dan Robert Bilott atas jerih payah yang tak usai hingga kini untuk menyelamatkan bumi. Kita berhutang pada Al Gore yang pergi dari satu kota ke kota lain, satu negara ke negara lain, untuk berbicara tentang kondisi bumi, menyebarkan kesadaran atas lingkungan yang harus dijaga. Kalau ia tidak mengumpulkan berbagai riset hingga membuatnya menjadi sebuah film dokumenter, kita mungkin tidak akan tahu mengapa Jakarta dari tahun ke tahun terus terendam banjir. Terlepas dari segala faktor-faktor internal yang ada di ibu kota kita ini sendiri, kebanjiran bisa terjadi karena perubahan iklim yang ekstrem. Kita berhutang pada Robert Bilott yang mencoba menghentikan pencemaran air yang membahayakan kesehatan banyak orang. Kalau ia tak menguak kasus tersebut, mungkin kita tidak pernah tahu bahwa Teflon yang kita gunakan setiap harinya sangatlah berbahaya untuk kesehatan.

Kita juga berhutang pada segelintir manusia di luar sana yang setiap harinya mencoba selangkah demi selangkah untuk menjaga bumi ini. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk membalas hutang kita pada mereka? Saya rasa ini hanya bisa dijawab oleh kecerdasan emosional yang dimiliki tiap orang masing-masing.