“We met at the wrong time. That’s what I kept telling myself anyway. Maybe one day, years from now we’ll meet in a coffee shop in a far away city somewhere and we could give it another shot.” – Eternal Sunshine of the Spotless Mind
Indonesia. Apa yang terlintas di kepala ketika mendengar nama negara kita ini disebutkan? Jakarta yang penuh dengan kemacetan? Atau Bali dengan lusinan destinasi pariwisata yang sering dikira bukan bagian dari Nusantara ini?
Apapun deskripsinya, kita semua orang Indonesia pasti setuju bahwa negara ini merupakan sebuah negara yang terkenal akan keberagamannya. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia tercatat memiliki lebih dari 300 kelompok suku. Bahkan sejak masa penjajahan hingga peradaban modern saat ini, masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang masih menjadikan bahasa Indonesia bahasa kedua. Meskipun bahasa daerah juga baiknya dilestarikan, namun bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu sebenarnya harus menjadi prioritas. Faktanya, perkembangan bahasa Indonesia sangat memengaruhi perkembangan sastra Indonesia. Oleh sebab itu, tidak dapat dielakkan bahwa keberagaman budaya dan bahasa yang hadir di Nusantara ini memang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sastra Indonesia, dulu, sekarang, dan nanti.
Dalam kumpulan esai-esai yang ditulis oleh Sapardi Djoko Darmono, “Politik Ideologi dan Sastra Hibrida” (1999), ia menyatakan sikapnya terhadap perkembangan sastra Indonesia dengan merangkum momentum-momentum penting dalam sejarah sastra Indonesia. Di samping itu, ia juga memberikan analisis yang menyeluruh terhadap fenomena bahasa dan sastra Indonesia yang terjadi di awal abad ke-19 hingga akhir abad tersebut. Sapardi menemukan bahwa perkembangan karya sastra Indonesia yang sangat cepat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa Indonesia dari masa ke masa yang mana keberagaman menjadi salah satu faktor penting di dalamnya. Kehadiran keberagaman tersebut melahirkan sastra hibriba yang dinilai dapat menjadi keunggulan ekosistem sastra Indonesia, khususnya sastra modern.
Merujuk kepada KBBI, kata “hibrida” dalam konteks linguistik dapat diartikan sebagai kata yang kompleks, yang bagian-bagiannya berasal dari bahasa berbeda. Sapardi sendiri mengaitkan pemahaman kata “hibrida” dalam konteks ilmu biologi yaitu proses penyilangan dua jenis spesies untuk menciptakan spesies baru yang lebih unik. Menurutnya, perubahan evolusioner dapat terjadi karena proses penyilangan tersebut. Jadi, secara sederhana Sapardi menerangkan bahwa sastra hibrida merupakan sastra yang berasal dari hasil penyilangan berbagai budaya dan bahasa yang ada di Indonesia untuk menciptakan bahasa baru yang evolusioner. Akan tetapi, selayaknya masalah sosial terkait dengan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang sering terjadi di negeri ini, sastra hibrida tidak luput dari masalah. Tantangan untuk menyepakati sastra hibrida sebagai identitas sastra Indonesia seringkali terbentur dengan politik ideologi.
Photo by Mike Chai from Pexels
Dalam buku ini, Sapardi juga menjelaskan eratnya hubungan antara sastra, politik dan ideologi. Sejak dulu, sastra lisan maupun tulisan dapat menjadi alat penyebaran ideologi yang mana dalam ideologi tersebut terselip pemikiran dan sikap politis seorang individu atau kelompok.
“Politik dan ideologi tidak bisa dipisahkan dari sastra. Dalam pengertian ini, politik diartikan sebagai tindakan atau kegiatan yang dipergunakan untuk mendapatkan kekuasaan dalam negara, masyarakat, atau lembaga, bisa juga berarti tindakan atau kegiatan yang dianggap bisa menjamin bahwa kekuasaan dilaksanakan dengan cara tertentu. Ideologi diartikan sebagai keyakinan atau seperangkat keyakinan yang menjadi landasan bagi orang, masyrakat, atau negara untuk melakukan satu tindakan. Secara tersurat dan tersirat, pandangan itu juga menyatakan bahwa sastra tidak bisa dipisahkan dari penciptanya.” (p. 59)
Hubungan yang erat antar ketiga hal tersebut pula yang mengawali adanya anjuran dari berbagai penerbit untuk para pengarang agar tidak menulis karya yang memiliki unsur SARA. Sastrawan yang merupakan peranakan Tionghoa, misalnya, tidak bisa menuliskan apa yang dialaminya saat berinteraksi dengan kelompok suku Jawa. Penulis yang beragama Kristen, tidak diperkenankan untuk menerbitkan karya di luar agamanya supaya tidak menimbulkan kontroversi dengan agama lain. Sapardi memberikan contoh segelintir penyair yang pernah mengalami pelarangan tersebut seperti Linus Suryadi AG yang dilarang membacakan sajaknya, “Maria dari Magdala” karena dianggap dapat menyinggung umat Kristen dan Katolik. Sudah begitu banyak pelarangan karya sastra yang dianggap memiliki unsur SARA berujung pada eksekusi sosial dan hukum.
Ia beranggapan bahwa berbagai peristiwa pelarangan yang membawa unsur SARA sebagai permasalahan berkarya tidak hanya digawangi oleh pemerintah semata. Masyarakat juga memiliki andil dalam melakukan sensor-sensor terhadap karya sastra yang berusaha menyampaikan sepenggal kisah yang mungkin memiliki unsur SARA. Walaupun sebenarnya tanpa maksud untuk mengecilkan satu kelompok agama, suku, ras, atau golongan. Sayangnya, ideologi yang memiliki unsur SARA kerapkali dipertimbangkan dapat membahayakan ketentraman umum sehingga para pengarang seakan tidak puna kebebasan untuk itu. Masalah terkait SARA dan kebebasan pengarang menyampaikan ideologi pun semestinya menjadi pertanyaan besar untuk kita. Apakah sastra hibrida —yang digadang-gadang merupakan identitas kesustraan Indonesia— sebenarnya mempersatukan atau justru memecah bangsa Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita baiknya mau menelisik lebih dalam mengenai proses pembentukan bahasa dan sastra Indonesia terlebih dahulu. Sebelum kita sepakat menyatakan keberadaan bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu, yang mana juga tertuang dalam Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia tidaklah berasal dari bahasa yang kita ciptakan sendiri. Sebelum momentum 28 Oktober 1928 tersebut, kita tidak punya satu bahasa yang dipakai oleh seluruh rakyat di segala penjuru Nusantara. Awalnya, bahasa daerah seperti bahasa Jawa dan Sunda menjadi kandidat terpilih yang dipertimbangkan dapat menjadi bahasa persatuan. Begitu juga dengan bahasa Belanda yang kala itu sudah dipakai oleh kaum cendikiawan.
Pilihan para pemuda yang mengumandangkan Sumpah Pemuda pun jatuh kepada bahasa Melayu yang dianggap dapat lebih efektif menyebarkan semangat nasionalisme lewat bahasa yang tertuang secara lisan dan tulisan. Beberapa faktor yang memengaruhi di antaranya adalah karena keberadaan bahasa Melayu sudah tergolong tua, lebih dari seribu tahun lamanya. Sejarah mencatat bahasa Melayu pernah jadi bahasa dominan di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Penggunaan bahasa Melayu di Indonesia pada awal abad ke-19 juga terbilang cukup luas. Ia dapat merasuk ke berbagai lapisan kelompok etnis di Nusantara. Ini terjadi terutama karena peran pers yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa tulis dalam penerbitannya.
Menurut Sapardi, pers berperan penting dalam perkembangan sastra modern sebab para wartawan yang menerbitkan surat kabar juga menulis karya sastra. Maka, mereka tidak hanya menyebarkan informasi faktual saja, melainkan menyebarkan ideologi lewat karya sastra modern yang dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat karena memiliki nilai hiburan. Sapardi juga menyebutkan bahwa dalam kesustraan, usaha menyebarluaskan gagasan baru dan menghibur harus memenuhi tujuan yang sama yakni mencapai pembaca seluas-luasnya (p. 17).
Sejak itu, minat menerbitkan karya tulis dalam bahasa Melayu pun semakin meningkat. Selain karena semakin banyaknya penerbit yang mulai mencetak karya sastra, di saat yang sama lahirnya organisasi Boedi Oetomo di tahun 1908 menimbulkan euforia nasionalisme di tengah masyarakat. Surat kabar serta karya sastra yang diterbitkan sekaligus menjadi propaganda untuk “melawan” kaum kolonial. Tidak heran, kesempatan menerbitkan karya sastra di media cetak pun dimanfaatkan figur-figur sastra di luar pers. Para sastrawan mulai berkarya tulis dalam bahasa Melayu agar dapat berkontribusi dalam penyebaran ideologi mereka dengan cara mengirimkan karya sastra ke berbagai penerbit surat kabar.
Selain digunakan dalam kaidah persuratkabaran dan penerbitan karya sastra, bahasa Melayu juga merasuk ke dalam institusi-institusi pendidikan yang mulai berkembang di awal abad ke-19. Penggunaan bahasa Melayu meluas ke berbagai jaringan pendidikan formal di Hindia Belanda. Berkembangnya pendidikan formal juga semakin meningkatkan minat masyarakat untuk lebih banyak mengonsumsi produk-produk sastra sehingga penerbit swasta semakin menjamur. Terutama karena melihat adanya peruntungan bisnis dari penjualan buku-buku.
Photo by Viktor Talashuk from Pexels
Tumbuhnya penerbit-penerbit swasta serta institusi-institusi pendidikan seolah mengancam pemerintah Belanda. Ideologi yang tersemat dalam karya sastra dipertimbangkan menjadi ancaman bagi pemerintah Belanda karena kemungkinan munculnya perlawanan akibat penyebarluasan ideologi yang menyudutkan kaum kolonial. Oleh sebab itu, pada tahun 1910 pemerintah meresmikan sebuah komisi yang berfungsi untuk mengatur penerbitan karya sastra sesuai dengan standar yang ditetapkan, yang kemudian melahirkan Balai Pustaka pada 1917. Walaupun Balai Pustaka dibangun untuk menjaga agar rakyat tidak mencari sumber-sumber informasi dari luar negeri atau bacaan “liar” hasil besutan penerbit swasta, Balai Pustaka berperan besar dalam pembentukan tata bahasa baku yang hingga kini digunakan. Di samping itu, Balai Pustaka juga sekaligus mengawali lahirnya karya-karya sastra modern yang pada perjalanannya sekaligus memantapkan bahasa Melayu menjadi dasar bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu dinilai lebih efektif untuk mewakili masyarakat dalam menyebarkan informasi dan ideologi ketimbang bahasa-bahasa lain yang juga menjadi kandidat bahasa utama Indonesia seperti Jawa, Belanda, atau Tionghoa. Bahasa Jawa yang juga tergolong sebagai bahasa tua dianggap kurang dapat merepresentasikan seluruh lapisan karena terkesan eksklusif dan kurang efektif dalam penyebaran ideologi nasionalis saat itu. Bahasa Jawa diketahui menjadi bahasa yang berasal dari tradisi sastra tulis sehingga masyarakat Indonesia kebanyakan kurang akrab dengan bahasa Jawa yang jarang digunakan secara lisan dalam praktik sehari-hari. Apalagi distribusi karya sastra Jawa di awal masa tumbuhnya penerbitan tidak ditujukan untuk kalangan luas. Secara tidak langsung, bahasa Jawa yang digunakan untuk karya sastra terbilang cukup eksklusif dan hanya dapat dipahami oleh kalangan terbatas masyarakat Jawa.
Sementara itu, bahasa Belanda yang digunakan para kaum intelek juga terbukti tidak dapat menjadi bahasa pemersatu seluruh negeri. Mereka yang dapat berbahasa Belanda hanyalah mereka yang mendapatkan privilese untuk mengenyam pendidikan tinggi dan berasal dari kelas sosial atas. Sebaliknya, bahasa Melayu-Tionghoa —yang turut menyebarluaskan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia sejak 1890an, termasuk dalam surat kabar Indonesia, — tidak dapat dipertimbangkan sebagai bahasa nasional sebab kualitas bahasa yang kurang mumpuni dan dianggap sebagai bahasa Melayu rendah.
Meskipun demikian, pengesahan bahasa Melayu menjadi dasar bahasa Indonesia dan ditetapkan menjadi bahasa persatuan dalam Sumpah Pemuda tidak semerta-merta mengesampingkan keberagaman bahasa-bahasa lain yang ada di Indonesia. Seperti yang dinyatakan Sapardi bahwa sejak Sumpah Pemuda bahasa Melayu secara “resmi” bernama bahasa Indoensia, dan oleh karenanya tidak lagi menjadi milik kelompok etnis tertentu, tapi menjadi milik seluruh bangsa. Sapardi percaya bahwa perkembangan bahasa Indonesia yang telah dirancang bersama-sama oleh berbagai kelompok masyarakat yang berasal dari budaya dan berbahasa beda dapat menjadi lebih evolusioner. Bahasa Indonesia menjadi amat kaya sehingga karya sastra berbahasa Indonesia pun dapat menjadi amat kaya. Faktanya, kosa kata bahasa Indonesia yang disahkan menjadi bahasa Indonesia oleh lembaga-lembaga kebahasaan resmi tidak hanya terdiri dari kosa kata bahasa Melayu saja. Beragam kosa kata yang berasal dari bahasa daerah seperti “kidul” dari bahasa Jawa atau “lantaran” dari bahasa Sunda, dan kosa kata serapan bahasa asing seperti “buku” dari bahasa Inggris, atau “kado” dari bahasa Prancis, serta sejumlah kata lainnya yang berasal dari bahasa Sansekerta, Arab, dan lain-lain, telah ditetapkan menjadi bahasa Indonesia secara resmi.
Photo by Nothing Ahead from Pexels
Banyak negara-negara maju pun tidak seutuhnya memiliki bahasa yang orisinil. Bahasa Inggris, misalnya, memiliki begitu banyak kosa kata yang diserap dari bahasa Prancis, Latin, dan sebagainya. Namun, karena seluruh kosa kata yang sudah diserap dan diubah bentuk serta disahkan sebagai bagian dari bahasa Inggris, maka kosa kata tersebut sudah menjadi bahasa Inggris. Bagaimanapun juga, ekspedisi yang dilakukan sejumlah kelompok atau individu ke berbagai negara lain sudah pasti memberikan sumbangan-sumbangan bahasa dan budayanya. Kita harusnya bangga menjadi negara yang tidak menggunakan bahasa penjajah menjadi bahasa kesatuan. Tidak seperti sejumlah negara lain yang masih lekat dengan bahasa penjajahnya seperti Filipina dan Singapura.
Tidak hanya soal diksi, bahasa dan sastra Indonesia juga sudah sejak lama dipengaruhi oleh budaya yang berasal dari luar Nusantara seperti India dan Arab. Walaupun pada masa itu bentuk bahasa dan sastra Indonesia masih merupakan bahasa dan sastra lisan seperti mantra, legenda dan cerita rakyat. Kalau tidak ada pengaruh tersebut, kita mungkin tidak pernah mengenal cerita-cerita pewayangan dan pujangga yang menjadi bagian dari budaya Jawa, yang juga menjadi cikal bakal buku-buku budi pekerti, mistik, agama dan primbon. Begitu juga dengan pengaruh budaya Tionghoa yang menghasilkan sederet sastrawan Peranakan Tionghoa yang turut berkontribusi dalam pembentukan diksi bahasa Indonesia seperti “loteng”, dan “kecap”. Kita tidak pernah tahu bagaimana kebudayaan peranakan Tionghoa memperkaya kebudayaan Betawi di Batavia yang kini menjadi ibu kota Indonesia. Bahkan gambaran kebudayaan Tionghoa sering disebutkan dalam berbagai karya klasik Indonesia yang mendunia seperti dalam “Bumi Manusia” karangan Pramoedya Ananta Toer.
Keberagaman budaya dalam pembentukan bahasa dan sastra Indonesia hingga sekarang pun terus berkembang. Khususnya setelah pemerintah Jepang menghapuskan bahasa Belanda dan berpartisipasi dalam penyebaran bahasa Indonesia. Langkah ini memperkuat posisi bahasa Indonesia di belahan daerah yang belum mengenal bahasa Melayu sebelumnya. Perubahaan tata bahasa di Balai Pustaka, yang tadinya masih menggunakan tata bahasa ala Belanda, Van Ophuijsen, berubah menjadi tata bahasa baku bahasa Indonesia. Tentu saja ini membuat perubahan besar dalam sejarah bahasa dan sastra Indonesia. Sapardi dengan tegas menganjurkan bahwa perubahan tersebut seharusnya dapat mencerminkan sikap kita terhadap bahasa sastra. Bahwa bahasa yang sudah secara resmi dianggap bahasa Indonesia, baik berasal dari bahasa Melayu, Melayu-Tionghoa, Jawa, Sunda, Aceh, maupun bahasa asing, berarti sudah menjadi bahasa Indonesia. Lebih jauh lagi, Sapardi menjelaskan:
“Karya sastra disebut-sebut memiliki nilai universal. Itu tidak berarti bahwa ia bisa dipahami dengan gampang, tanpa usaha dan kemauan baik pembaca untuk mempelajari latar belakangnya. Keuniversalan karya sastra hanya bisa ditafsirkan sebagai hakikat inti masalah manusia, yang abstrak, yang bisa menjadi konkret hanya jika ia memiliki akar pada kelompok masyarakat tertentu.” (p. 44-45)
Sapardi meyakini bahwa nilai-nilai universal juga hadir dalam diri setiap manusia dan nilai-nilai tersebut hanya akan menjadi konkret jika dapat terwujud dalam sikap toleran pada hal-hal yang menyangkut suku, agama, ras, dan adat-istiadat. Menurutnya, perkembangan sastra yang sehat hanya akan terjadi jika ideologi yang berasal dari kebudayaan seorang sastrawan dapat diungkapkan dan direspon dengan keterbukaan pikiran dan kedewasaan sikap.
Kita tentu sudah paham betul identitas Indonesia salah satunya adalah keberagaman budaya. Ini sudah ada dalam DNA setiap individu yang lahir, tumbuh, dan mengaku menjadi warga negara Indonesia. Idealnya, kita pun harusnya sudah memahami betapa dibutuhkan toleransi yang besar dalam menghidupi keberagaman tersebut. Sastra modern yang kita miliki saat ini berasal dari keberagaman tersebut. Semua karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia, pantas diakui sebagai bagian dalam kesusastraan Indonesia. Saya pun setuju dengan apa yang diungkapkan oleh Sapardi mengenai pelonggaran SARA dalam karya sastra. Seorang sastrawan membutuhkan kebebasan dalam mencipta. Oleh sebab itu, keberadaan SARA dapat menjadi penghalang sebuah karya sastra memiliki nilai keberagaman yang berasal dari ideologi kebudayaan pengarangnya.
Kesepahaman kita tentang identitas bangsa yang berasal dari kebudayaan beragam diikuti oleh kesepahaman untuk menggunakan bahasa Indonesia yang juga berasal dari keberagaman bahasa harusnya dapat menjadi alasan mengapa kita harus melonggarkan unsur SARA dan karya sastra. Momentum Sumpah Pemuda menjadi momentum keikhlasan seluruh bangsa untuk meleburkan bahasa-bahasa daerah sehingga dapat mengutamakan bahasa Idnonesia sebagai satu bahasa pemersatu. Sebagai individu yang menjadi bagian dari keberagaman tersebut, seharusnya bukan sesuatu yang asing untuk kita bisa memperbesar ukuran toleransi. Toleransi tersebut termasuk sikap penerimaan kita terhadap kritik yang berasal dari budaya, agama, suku, adat-istiadat, atau antargolongan yang berbeda. Kita tidak hidup dalam negara yang homogen sehingga kita seharusnya dapat memberikan ruang kepada mereka yang berbeda budaya untuk menyuarkan kisah dan ideologi mereka. Seperti yang juga ditegaskan oleh Sapardi bahwa rasa tersinggung karena adanya unsur SARA dalam karya sastra sebenarnya bisa diubah menjadi sikap positif. Kehadiran kritik justru dipertimbangkan mampu membangun dan bahkan mendekatkan satu sama lain.
“Keberagaman budaya seharusnya tidak menjadi pembatas perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Tapi sebaliknya memperkaya. Menolak menerima unsur kebudayaan lain untuk dikonsumsi karena takut akan adanya singgungan hanya akan menunjukkan kelemahan identitas kita sebagai bangsa yang beragam. Padahal sebagai seorang individu Indonesia yang menjadi bagian dari keberagaman, kita semestinya tidak perlu takut terancam. Sikap ini pun baiknya dipertahankan dalam merespon masuknya budaya atau bahasa asing yang sekarang ini juga berkontribusi besar dalam perkembangan sastra modern dan populer. Mau tidak mau, negara Indonesia sudah terekspos dengan budaya dan bahasa asing. Salah satunya adalah bahasa Inggris. Tokoh sastra seperti Chairil Anwar, misalnya, dikenal sebagai seorang sastrawan yang mengadaptasikan karya-karya barat menjadi karya-karya Indonesia. Karya sastra yang diciptakannya pun dinilai memberi warna baru pada kesustraan Indonesia. Bahkan bisa dikatakan Chairil Anwar menciptakan kosa kata yang belum pernah digunakan para sastrawan Indonesia sebelumnya.” (p. 209)
Hal tersebut diteguhkan pula dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia yang menuangkan bahwa asimilasi bahasa di satu pihak dapat membantu asimilasi bangsa dan di pihak lain dapat menjamin kelangsungan hidup bahasa daerah Nusantara yang bersangkutan yang harus menyesuaikan dirinya dengan arus perkembangan masyarakatnya. Oleh sebab itu, sebenarnya kita bisa menyimpulkan bahwa identitas sastra Indonesia adalah sastra hibrida yang menyilangkan beragam budaya, agama, suku, ras, dan golongan. Dengan melonggarkan unsur SARA, kita bisa belajar lebih banyak dan sekaligus menghargai proses penyilangan tersebut. Utamanya, eksistensi karya sastra adalah untuk menawarkan realita baru dalam hidup kita di mana realita tersebut seharusnya menjunjung kebebasan baik untuk sang pengarang maupun sang pembaca. Ideologi yang dituangkan oleh sang pengarang dapat memberikan sumbangsih dalam perjalanan hidup pembaca, entah berupa pengetahuan maupun rangsangan emosi yang melahirkan kesadaran.
Sayangnya, pemahaman mengenai sastra hibrida yang dapat merefleksikan kebudayaan hibrida di tengah masyarakat kita belum tersampaikan dengan baik. Salah satu alasannya adalah kurangnya perhatian terhadap kesustraan Indonesia. Jika ditarik lebih jauh lagi, isu ini bisa jadi berdasar pada pola pendidikan di Indonesia yang berujung kembali pada penggunaan bahasa Indonesia. Kita belum benar-benar berani menjunjung tinggi penggunaan bahasa Indonesia dalam keseharian yang menyebabkan kurangnya kemahiran menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seolah bahasa Indonesia masih menjadi bahasa kedua. Seperti juga tertuang dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988):
Masalahnya di Indonesia ialah kemahiran berbahasa yang benar, walaupun dihargai, belum menjadi prasyarat kedudukan yang terkemuka di dalam masyarakat kita. Mengingat kenyataan tersebut di atas kita perlu kembali ke dunia pendidikan yang menurut adat menjadi persemaian para pemimpin. Oleh sebab itu, di Indonesia semua proses pembakuan hendaknya bermula pada ragam bahasa perguruan dengan berbagai coraknya dari sudut pandangan sikap, bidang, dan sarananya.
Secara tidak langsung, kurang kokohnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut aturan yang berlaku juga menghambat perkembangan sastra Indonesia. Sastra hibrida yang merupakan identitas sastra Indonesia merujuk kepada penggunaan bahasa Indonesia yang dapat membuka inklusivitas terhadap bahasa-bahasa lain. Akan tetapi, penggunaan bahasa Indonesia di masa modern yang seringnya tidak merujuk kepada standarisasi yang berlaku menghambat penyebaran bahasa Indonesia itu sendiri. Ini sering tampak pada kebudayaan populer yang menghadirkan karya sastra populer dengan tidak menggunakan standar kebahasaan yang seharusnya. Tidak berarti kita tidak memerlukan kebudayaan populer. Hanya saja, akan lebih baik jika kebudayaan populer yang diwujudkan dalam karya sastra bisa tetap mengandung ragam bahasa yang seturut dengan standarisasi bahasa Indonesia. Dengan menambah kuantitas penggunaan bahasa baku dalam keseharian, kita bisa sekaligus berkontribusi dalam menyebarkan fungsi bahasa baku itu sendiri yang dapat menjadi pemersatu, pemberi kekhasan dan pembawa kewibawaan identitas bangsa.
Oleh karena itu, upaya-upaya yang dilakukan untuk mengembangkan sastra hibrida yang menjadi identitas sastra Indonesia pun tidak bisa dilakukan hanya oleh para sastrawan atau segenap individu atau kelompok yang terlibat dalam dunia bahasa dan kesustraan Indonesia saja. Saya sepakat dengan Sapardi bahwa kita memerlukan lebih banyak orang yang berdedikasi dalam pembaruan kesustraan meskipun ada baiknya untuk tetap mengacu kepada standar-standar yang dapat mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia. Sekalipun SARA benar dapat dilonggarkan, tapi menurut hemat saya, tetap perlu ada pengawasan sehingga tujuan penulisan bukan untuk menyebarkan ideologi yang membelah keberagaman tersebut. Jadi, upaya-upaya tersebut juga harus datang dari pembuat kebijakan dan masyarakat yang sering menjadi tim sensor tidak sah. Sejatinya, untuk menciptakan budaya yang mengakar —dalam hal ini mengenai penggunaan bahasa Indonesia yang turut mengembangkan kesusastraan Indonesia— hanya akan terjadi apabila ada kesadaran nasional. Kesadaran nasional itu sendiri harus datang dari segenap masyarakat yang memiliki visi dan misi sejalan.
Dengan demikian, kita baru bisa membuat bahasa persatuan, sebagaimana yang didaraskan dalam Sumpah Pemuda tahun 1928, mengakar menjadi kebudayaan orisinil Indonesia. Dulu ketika Sumpah Pemuda diikrarkan, kita telah berhasil keluar dari belenggu bahasa penjajahan dengan menetapkan bahasa Indonesia sebagai pemersatu. Bukannya tidak mungkin ke depannya kita bisa kembali menjadikan identitas sastra hibrida Indonesia sebagai alat diplomasi sosial dan politik negara. Ideologi tentang keberagaman yang hadir secara implisit maupun eksplisit dalam karya-karya sastra serta kritik-kritik sastra (yang sekaligus mencerminkan identitas sastra hibrida) berpotensi memperkokoh posisi negara di tingkat yang lebih lanjut. Di samping itu, bukannya tidak mungkin ideologi-ideologi tersebut juga dapat berkontribusi dalam menghadirkan solusi-solusi penyelesaikan berbagai macam persoalan yang terjadi di Indonesia. Alasannya adalah karena sastra bisa memengaruhi cara berpikir dan bertindak masyarakat sehingga ia memiliki nilai politis yang mampu menggerakkan segenap masyarakat.
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. 2016. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London, New York: Verso.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka dan Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Damono, Sapardi Djoko. 1999. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus.
Erawati, Rosida dan Ahmad Bachtiar. 2011. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.