“Kalau Gue Bisa Lo Juga Bisa”

Semakin bertambah dewasa (baca: tua) semakin pesimis dengan pernyataan “kalau gue bisa lo juga pasti bisa”. Terutama kalau diucapkan oleh mereka yang sedari kecil berada dalam berbagai macam privelese. Mereka yang mungkin tidak pernah tinggal sendiri dengan biaya dari kantong sendiri. Mereka yang tidak perlu susah payah berangkat dan pulang sekolah naik angkutan umum.

Kenapa pernyataan tersebut menjadi kurang realistis? Karena ada satu hal yang dimiliki oleh kaum privelese dengan yang kurang privelese: Sumber Daya.

Ibaratnya, kedua kaum ini punya tujuan yang sama. Hal yang berbeda adalah kendaraannya. Semisal saat si kaum privilese berangkat ke sekolah dengan mobil pribadi yang disertai pendingin udara, bisa tidur dengan nyaman meski terlambat bangun. Tidak ada stres sebelum sampai di sekolah dan belajar. Bahkan bisa sarapan atau siap-siap di mobil. Sedangkan mereka yang naik angkutan umum, amatlah beruntung kalau bisa sempat sarapan di angkutan umum. Menunggu angkutan datang saja sudah memakan waktu keberangkatan. Memulai hari dengan banyak pikiran: harus bangun lebih pagi supaya tidak terkena macet, bisa sarapan dari rumah, dapat angkutan umum tepat waktu, sampai akhirnya bisa sampai sekolah tepat waktu. Mereka harus menyusun strategi. Setiap hari. 

Sayangnya, strategi yang telah disusun rapi dari hari sebelumnya bisa dengan mudah berantakan karena hal-hal di luar ekspektasi. Mulai dari angkutan umum yang tiba-tiba susah ditemui, selalu penuh sehingga tidak dapat tempat duduk, atau harus berhenti setiap 10 menit untuk menurunkan penumpang. Mereka yang bisa naik kendaraan pribadi bisa duduk manis menempuh jalan tol yang mungkin hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai sekolah. Sementara mereka yang naik kendaraan umum harus sampai 60 menit dari lokasi yang sama karena tidak bisa lewat tol.

Tentunya saat sampai di sekolah, dia yang naik angkutan sudah keburu lelah, dengan stres dalam pikirannya. Belum lagi kalau tidak sempat sarapan. Perut kosong, tetapi harus dipaksa berpikir saat pelajaran dimulai. Tentunya berbeda dengan si dia dengan kendaraan pribadi. Tanpa perlu berkeringat, terselimuti bau asap jalanan, dan perut keroncongan, pikirannya lebih segar siap meresap pelajaran lebih optimal. Begitu juga sepulang sekolah. Ketika si anak angkutan harus menunggu lama untuk sampai di rumah, anak mobil pribadi bisa dengan santai menggunakan waktunya untuk lebih dulu mengisi perut, tidur siang, dan bangun dengan kepala segar untuk belajar. Sedangkan si anak angkutan sampai di rumah lebih terlambat, sudah kelelahan serta kelaparan di jalan. Berpikir untuk belajar rasanya menjadi agenda terakhir. Apalagi kalau di rumahnya tidak memiliki sumber daya manusia untuk membantu pekerjaan rumah. Ia harus membantu keluarga membereskan rumah, menyiapkan kebutuhannya sendiri.

Ilustrasi ini sedikit banyak menggambarkan situasi yang akan terjadi di dunia pekerjaan. Di dunia yang sebenar-benarnya. Mereka yang kaya akan tetap bisa jadi kaya. Mereka yang kurang beruntung harus kerja sekeras-kerasnya untuk bisa bertahan hidup. Bagaimana bisa sampai di tujuan yang sama? Mungkin bisa, meski kesempatannya kecil. Tapi, besar kemungkinan waktunya akan sangat lama untuk anak angkutan sampai di tujuan yang sama dengan si anak kendaraan pribadi.

Dulu saya pikir program-program beasiswa yang ada diberikan hanya untuk mereka yang kurang mampu secara finansial agar dapat memperbaiki kualitas hidup. Saya pikir semua orang bisa punya mimpi yang sama, dan mampu mencapai mimpi yang sama. Sayangnya, dunia ini tidak berjalan sama untuk semua orang. Pikiran naif itu terbukti dari banyaknya orang-orang dengan privilese finansial yang mampu mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Tentunya alasan mereka di atas kertas adalah untuk mengubah “dunia”. Entah dunia siapa. Entah apa yang ada di pikiran mereka untuk berkompetisi dengan kaum yang benar-benar butuh memperbaiki kualitas hidup. 

Rasanya jadi tidak heran kenapa mereka bisa mendapat beasiswa. Semakin ke sini, saya semakin menyadari bahwa bagaimana pun juga institusi-institusi yang memberikan beasiswa tersebut tetap punya agenda sendiri. Bagaimana pun juga, industri pendidikan tetap perlu mempertahankan bisnisnya. Begitu juga universitas-universitas top dunia. Salah satu persyaratan untuk bisa mendaftar ke universitas top dunia atau lembaga beasiswa adalah dengan tes bahasa Inggris yang kini sudah mencapai 3 juta rupiah. Bagi kaum privilese, 3 juta tidak terlihat signifikan. Sementara untuk kaum mendang-mending, 3 juta bisa jadi biaya bertahan hidup 1 bulan.

Di sisi lain, kaum privilese bisa mengikuti berbagai les untuk persiapan tes, dan mempercantik segala dokumen yang dibutuhan untuk diterima. Di saat yang sama, kaum biasa harus sambil tetap mencari uang dan belajar mandiri. Lagi-lagi soal sumber daya, fasilitas, dan akses. Belum lagi dengan latar belakang kandidat. Mungkin banyak yang belum tahu bahwa segelintir lembaga beasiswa, dan universitas top dunia melakukan riset latar belakang para kandidat. Tentunya kalau sang kandidat sudah punya “nama” di bidang tertentu atau punya sejarah keluarga yang bisa mengangkat nama institusi, rasanya susah ditolak. Selain itu, biaya sekolah murid internasional berkali-kali lipat lebih mahal. Lagi-lagi, sulit untuk ditolak jika biaya tersebut bisa meningkatkan laju bisnis pendidikan mereka. 

Intinya adalah bukan berarti mereka yang kurang memiliki privilese tidak bisa sampai di tempat tujuan yang sama dengan mereka yang punya privilese. Intinya adalah terkadang kita tergoda untuk melakukan apa yang orang lain lakukan hanya karena konstruksi sosial terbentuk demikian. “Kalau dia bisa kenapa gue enggak” merupakan pernyataan yang bisa memotivasi seseorang untuk maju. Akan tetapi, bisa jadi motivasi yang menyesatkan, mendorong untuk mencari berbagai cara (apa pun itu) untuk dapat mencapai apa yang orang lain lakukan. Sesuatu yang bahkan mungkin bukan keinginan atau kebutuhannya.

Mengamini “kalau dia bisa kenapa gue enggak” bisa membuat kita mempertanyakan alasan ketidakadilan yang terjadi dalam hidup ketika ternyata kita tidak sampai di tujuan yang diinginkan. Padahal, hidup ini memang tidak adil, dan tidak akan pernah adil karena kita dilahirkan dari keluarga yang berbeda-beda tanpa bisa meminta pada sang Ilahi untuk berasal dari rahim siapa. Mau tidak mau, kita harus belajar untuk menerima ketidakadilan tersebut sebagai bagian dari kehidupan. Terutama karena kita hidup di negara berpenduduk terbanyak ke-4 di dunia. Sudah pasti ketidakadilan menjadi makanan sehari-hari. Bahkan kemiskinan saja didukung agar perputaran ekonomi tetap terjadi. 

Begitu pula sebaliknya, kita mungkin bisa mengarahkan seseorang pada motivasi yang salah dengan mengatakan “kalau gue bisa lo juga pasti bisa”. Latar belakang kita berbeda-beda. Jumlah episode yang sedang dijalani juga berbeda-beda. Mungkin kita sudah di episode ke-100 sementara orang lain masih di episode ke-50. Pernyataan ini pun kalau dipikir-pikir hanya memperlihatkan arogansi dan narsisme diri. Terlebih lagi, pernyataan ini hanya akan membuat sang penerima pesan membandingkan diri dengan orang lain. Cobalah untuk lebih berempati, dan tidak asal mengucap hanya sekadar untuk menyemangati. Terkadang, cukup mendengarkan apabila tidak ditanya pendapat sebenarnya bisa sangat membantu.