Pendahuluan: Karya Sastra Inggris Masa Awal, Tengah, dan Akhir Victoria
Masa Victoria (1837-1901) dipertimbangkan sebagai masa keemasan bagi kesusastraan Inggris bahkan kerap dikenal dengan sebutan the age of novel. Persepsi ini dapat dilihat dari kehadiran empat pergerakan yang saling berpotongan pada satu periode. Di awal masa Victoria sekitar tahun 1930an merupakan periode Romantisme. Dilanjutkan dengan periode Realisme dan Naturalisme di pertengahan masa sekitar tahun 1950an. Kemudian di akhir masa Victoria, kurang lebih dimulai dari sekitar tahun 1980an adalah periode awal Modernisme yang digencarkan setelah Ratu Victoria meninggal pada tahun 1901.
Ironisnya, ragam pergerakan tersebut terjadi akibat banyaknya permasalahan ekonomi, politik dan sosial dari pemerintahan Ratu Victoria. Menjadi negara yang mendominasi situasi perekonomian di dunia seusai perang dengan negara Perancis, Inggris berhasil menampilkan peradaban urban pertama di dunia dengan kejayaan industri dan teknologinya. Akan tetapi, kejayaan itu justru memunculkan kesenjangan sosial yang amat curam antara kelas atas dan bawah. Hegemoni pemerintahan Inggris memengaruhi seluruh aspek kehidupan, termasuk bidang kesusastraan. Karya-karya novel, misalnya, terbagi dalam dua klasifikasi yaitu novel “silver fork” yang menggambarkan masyarakat kelas atas dan “Newgate” dengan tema-tema realisme sosialis yang melibatkan unsur kriminal, kehidupan di kota urban dan industri serta realisme di ranah domestik (Schor, 2014, h. 351-352).
Kehadiran novel “Newgate” jelas berasal dari tingginya kasus kekerasan dan kriminal akibat krisis ekonomi yang terjadi di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Diikuti dengan kehadiran ketidakadilan sosial akibat represi dari pemerintah Inggris. Oleh sebab itu, novel sebagai karya sastra yang dipercaya dapat menjadi medium untuk menyampaikan ideologi digunakan oleh para figur lintas profesi untuk merespon permasalahan yang terjadi. Novel-novel dengan tema tersebut pun secara umum berisikan keraguan dan ketidakpastian hidup di masa Victoria. Di pertengahan hingga menjelang akhir masa Victoria karya-karya novel fiksi mengalami perubahan yang signifikan. Tidak hanya dari gaya penulisan yang lebih estetis, format novel juga berubah. Dari novel yang terbatas pada satu volume menjadi tiga volume. Di waktu inilah, unsur-unsur realisme, naturalisme, dan modernisme mulai terlihat menggantikan romantisme hingga akhirnya modernisme mentransformasi kesusastraan Inggris.
Novel Serial Sherlock Holmes Di Masa Peralihan Victoria dan Modernisme
Novel serial yang menceritakan perjalanan karakter fiktif legendaris Sherlock Holmes karya Arthur Conan Doyle mendulang popularitas ketika salah satu kisahnya, “A Study in Scarlet”, diterbitkan di majalah “Beeton’s Christmas Annual” pada tahun 1887. Sejak itu, kumpulan kisah Sherlock Holmes berlanjut hingga 1920an sampai kemudian dialih wahana ke dalam bentuk film di tahun 1939 dan terus direproduksi menjadi film serta serial TV hingga abad ke-21. Salah satu alasan kisah Sherlock Holmes menarik perhatian masyarakat adalah relevansi kisah dengan kehidupan nyata di masa Victoria. Terlebih lagi, novel-novel Sherlock Holmes dapat dipertimbangkan menggabungkan dua klasifikasi yang disebutkan sebelumnya yaitu novel “silver folk” dan “Newgate”. Kisah-kisah Sherlock Holmes yang banyak mengangkat isu sosial, politik dan ekonomi menampilkan situasi nyata yang terjadi di akhir masa pemerintahan Victoria sehingga secara tidak langsung novel-novel Sherlock Holmes mewakili aspirasi masyarakat menengah ke bawah (Whitley, 1996).
Photos.com/Jupiterimages
Representasi Karakter Sherlock Holmes Sebagai Pahlawan Kaum Proletar
Klasifikasi novel “Newgate” pada kisah-kisah Sherlock Holmes ditampilkan dari pembentukan persona Sherlock Holmes dan narasi di sekitarnya yang dibangun untuk menampilkan unsur realisme sosialis. Saat menciptakan karakter Sherlock Holmes, Arthur Conan Doyle memiliki misi untuk menghadirkan kisah yang seolah dapat menjadi “cerita rakyat” dan menghadirkan sosok pahlawan yang melayani masyarakat. Sherlock Holmes diposisikan sebagai agen yang mewakili kelas menengah, melawan kaum aristokrat di masa Victoria yang manipulatif, hedonis dan asusila. Karakter Sherlock yang menampilkan sikap acuh tak acuh, individualis, dan sinis terhadap kehidupan di sekitarnya menjadi aspek penting dalam merespon realita di masa pemerintahan Victoria. Karakternya tersebut seakan merepresentasikan kebebasan individu dalam berpikir dan bertindak. Sesuatu yang sulit dilakukan oleh masyarakat menengah ke bawah akibat represi pemerintah.
Knight (1980) menyebutkan bahwa dalam “The Victorian Frame of Mind” (1957) Houghton memaparkan mengenai seorang individu yang menentang kekuatan kolektif dari politik massa dan determinisme sosial biasanya memiliki nilai kepedulian dan emosional yang besar. Ini ditunjukkan oleh karakter Sherlock Holmes yang menyelesaikan kasus-kasus kriminal dengan langkah mandiri dan individualis. Dengan cara tersebut, ia sebenarnya menunjukkan kekuatannya sebagai seorang individu di masa Victoria yang dapat mendobrak sistem pemerintahan yang irasional dan tidak manusiawi. Sikap ini pula yang dilihat sebagai sikap kepahlawanan sehingga secara tidak langsung memberikan inspirasi bagi pembaca untuk turut memperjuangkan dirinya sendiri.
Representasi Karakter dr. Watson Sebagai Kaum Aristokrat Pro Rakyat
Karakter dr. Watson tidak kalah penting dalam narasi yang merespon isu pemerintahan Victoria. Sama seperti Sherlock Holmes, dr. Watson juga sebenarnya dirancang untuk menjadi seorang pahlawan. Perbedaannya adalah karakter dr. Watson merupakan wujud “pahlawan” yang berasal dari kaum aristokrat. Seperti yang disampaikan oleh Whitley (1996) pada pendahuluan buku “The Return of Sherlock Holmes”, dr. Watson diciptakan untuk merepresentasikan karakter yang diidamkan oleh masyarakat di akhir masa Victorian yaitu seorang aristokrat dengan intelektual tinggi tapi memiliki sifat patriotik, nilai moral tinggi pada kaum proletar. Pembentukan persona dr. Watson ini sekaligus menjadikan kisah-kisah Sherlock Holmes ke dalam kategori novel “silver folk”. Dapat dikatakan karakter dr. Watson adalah satire terhadap kaum aristokrat masa itu yang dianggap kurang bermoral.
Ini pula alasan Doyle menggunakan suara dr. Watson untuk menarasikan petualangannya bersama Sherlock. Strategi tersebut sengaja dilakukan untuk menarik pembaca kaum borjuis zaman Victoria sehingga diharapakan dapat menjembatani kedua kelas sosial. Karakter dr. Watson sendiri sebenarnya merupakan representasi persona Arthur Conan Doyle yang juga seorang dokter. Ia merasa memiliki privilese untuk menyampaikan nilai-nilai yang diusungnya dalam kedua karakter. Kedekatan Sherlock dan Watson merupakan proposisi ideologi di masa Victoria yang identik dengan isu kesenjangan sosial.
Perpaduan Masa Victoria dan Modernisme
Selain karakter dan narasi yang kuat, daya tarik novel-novel Sherlock Holmes juga berasal dari gaya penulisan Doyle yang memadukan unsur-unsur pergerakan literasi masa Victoria dan modernisme. Secara umum, karakteristik novel masa Victoria melibatkan unsur romantisme, realisme, dan naturalisme yang mana biasanya memperlihatkan kisah yang realistis namun dibalut dengan unsur estetis khas masa romantisme. Sementara karakteristik pergerakan literasi modernisme berkaitan erat dengan tampilan kota urban yang kacau, aspek keilmuan atau teknologi yang menjadi bagian dari industrialisasi, serta unsur-unsur eksperimental.
Dalam mengembangkan novel-novel Sherlock Holmes, Doyle menyajikan dua premis dalam kisah-kisah Sherlock. Pertama adalah menampilkan sisi keilmuan yang rasional diperlihatkan dari metode ilmiah yang digunakan Sherlock dalam memecahkan kasus. Kedua adalah sisi individualisme yang merepresentasikan nilai-nilai manusiawi (Knight, 1980, h. 68). Kedua premis tersebut menegaskan karakteristik karya sastra masa Victoria di awal dan pertengahan periode. Pergerakan romantisme masih lekat di awal masa Victoria yang mana melahirkan kisah-kisah petualangan kepahlawanan yang menekankan pada nilai individualisme dan membubuhkan unsur misteri. Unsur tersebut pun tampak pada karakter Sherlock yang heroik dan individualis. Sedangkan di pertengahan masa Victoria, pergerakan realisme dan naturalisme muncul mewarnai bidang kesustraan. Keduanya ditandai dengan banyaknya karya sastra yang memperlihatkan aspek ilmu pengetahuan untuk menyebarkan nilai-nilai realistis. Dalam kisah-kisah Sherlock Holmes, Doyle dipertimbangkan sukses membuat sebuah karya romantic realities karena ia dapat meromantisasi apa yang benar hadir di kehidupan nyata, terutama dalam meromantisasi ilmu pengetahuan di setiap narasi investigasi (Jann, 1995, h. 10).
Unsur modernisme sebenarnya sudah jelas terlihat dari pemaparan ilmu pengetahuan itu sendiri yang menjadi bagian dari narasi kota urban sebagai representasi masa industrialisasi. Begitu pula dengan bagaimana Doyle meromantisasi tampilan kota London, utamanya Baker Street. Dengan ciri khas penulisan masa romantisme yang menonjolkan keindahan lanskap alam, Doyle menggabungkannya dengan unsur modernisme yang menyoroti area urban. Knight (1980, 73) menjelaskan dalam menyajikan metodologi yang digunakan Sherlock saat memecahkan kasus, Doyle juga membubuhkan karakteristik modernisme dengan menempatkan unsur eksperimental saat mempresentasikan alur cerita. Alur cerita novel-novel Sherlock Holmes dibuat dalam pergerakan yang cepat, penuh dinamika dan saling bertautan antara satu segmen dan segmen lainnya. Terdapat begitu banyak insiden dengan teka-teki yang seolah harus dipecahkan dalam waktu singkat. Contohnya pada cerita “Dancing Men” terdapat hieroglif yang harus diterjemahkan untuk memecahkan pesan rahasia:
The Dancing Men, The Return of Sherlock Holmes (1995, 54)
Terlepas dari itu, Doyle tetap mempertahankan gaya konservatif ala literasi Victoria yang mengedepankan pola atau struktur. Biasanya, satu kisah Sherlock Holmes dimulai dengan kehadiran Sherlock dan Watson di Baker Street, London. Kemudian muncul klien dengan pemaparan masalah dan dilanjutkan dengan diskusi antara Sherlock dan Watson yang lalu diikuti dengan investigasi. Saat investigasi inilah alur berubah. Terkadang hanya ada Sherlock yang melakukan penelusuran kasus, tapi kerap kali Watson terlibat dalam pemecahan kasus. Terakhir selalu ditutup dengan Sherlock menjelaskan runutan kasus dan mereka kembali ke Baker Street.
Perpaduan karakteristik masa Victoria dan modernisme juga terlihat dari narasi yang menggunakan sudut pandang orang pertama dari dr. Watson untuk memaparkan perjalanan dan petualangan mereka memecahkan kasus. Sudut pandang dr. Watson sendiri sebenarnya mewakili karakteristik masa Victoria yang mana para sastrawan menampilkan nilai “kesadaran diri” pada karakter novelnya dengan narasi yang jujur dan realistis. Namun, sudut pandang orang pertama yang menekankan pada “subjektivitas” menandakan unsur modernisme yang mana salah satu karakteristik literasinya adalah narrative verisimilitude yang menampilkan kebenaran dan orisinalitas (Matz, 2005: 219).
Kesimpulan
Apabila dilihat dari keberlangsungan kisah-kisah Sherlock Holmes yang direproduksi dan dialih wahana hingga abad modern, dapat disimpulkan bahwa kisah-kisah Sherlock masih diminati oleh masyarakat modern. Sekalipun kisah Sherlock Holmes dari penulis asli, Arthur Conan Doyle, sudah tidak lagi ditulis dari satu abad lalu. Dapat dipertimbangkan bahwa masyarakat modern masih merasa relevan dengan kisah-kisah Sherlock yang memadukan karakteristik masa Victoria dan modernisme. Nilai-nilai kepahlawanan pada masa romantisme, unsur ilmu pengetahuan pada masa realisme dan naturalisme, serta dinamika kehidupan urban pada pergerakan modernisme masih tetap menarik perhatian masyarakat global. Kesuksesan kisah-kisah Sherlock Holmes juga tidak terlepas dari kuatnya karakter Sherlock dan Holmes yang juga masih dinilai dapat mewakili berbagai lapisan masyarakat. Karakter-karakter heroik yang secara realistis ditampilkan dengan kekuatan intelektual dan moralitas (secara sadar atau tidak sadar) masih dibutuhkan masyarakat untuk mewakili aspirasi atau justru menjadi inspirasi mereka.
Perpaduan unsur-unsur beragam yang berasal dari masa Victoria dan modernisme juga memperkaya narasi, alur cerita serta gaya penulisan novel-novel Sherlock Holmes yang mana di masa itu belum ada kisah detektif dengan penerapan unsur-unsur tersebut. Maka, novel-novel Sherlock Holmes dapat dinilai memiliki unsur inovatif, dinamis, dan fleksibel, unsur-unsur yang signifikan dalam pergerakan modernisme sehingga kisah-kisahnya dapat bertahan hingga kini. Bahkan, kisah-kisahnya banyak menjadi inspirasi bagi para penulis cerita-cerita detektif lainnya. Termasuk karya sastra populer, komik Jepang “Detective Conan” yang mengadopsi pemikiran Arthur Conan Doyle dalam memaparkan karakter detektif dan narasi investigasi.
Daftar Pustaka
Britannica, T. Editors of Encyclopaedia (2021, 2 Februari). Romanticism. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/art/Romanticism
Doyle, A.C (1995). The Return of Sherlock Holmes. Wordsworth Editions Limited.
Harrison, A. (2014). 1851. Tucker, H (Ed.), In A New Companion to Victorian Literature and Culture. John Wiley & Sons, Ltd.
Jann, R. (1995). The Adventures Of Sherlock Holmes: Detecting Social Order. Twayne.
Knight, S. (1980). Form and Ideology in Crime Fiction. The Macmillan Press.
Matz, J. (2005). Modernist Genres and Modern Media: The Novel, In A Companion to Modernist Literature and Culture. Bradshaw, D, and Detmarr, K. (Eds.). Blackwell
Poston, L. (2014). 1832. Tucker, H (Ed.), In A New Companion to Victorian Literature and Culture. John Wiley & Sons, Ltd.
Schor, H. (2014). Fiction. Tucker, H (Ed.), In A New Companion to Victorian Literature and Culture. John Wiley & Sons, Ltd.
Shrimpton, N. (2021, 15 Maret). English Literature. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/art/English-literature/Late-Victorian-literature#ref13006