Voices From The Other World

“We met at the wrong time. That’s what I kept telling myself anyway. Maybe one day, years from now we’ll meet in a coffee shop in a far away city somewhere and we could give it another shot.” – Eternal Sunshine of the Spotless Mind

Selama ribuan tahun, spiritualitas di Mesir telah mendapatkan banyak pengaruh dari berbagai budaya dan kepercayaan, termasuk Yunani. Sejarah mencatat bahwa masyarakat Mesir adalah masyarakat spiritual dan religius sejak zaman Mesir Kuno. Kisah peradaban Mesir pun hadir di buku-buku agama dan kitab suci. Ini pun diakui oleh bangsa Yunani yang sempat menduduki tanah bawah naungan Alexander The Great pada 332 SM (Marshall, 2001). Pengaruh ini menghadirkan politeisme yaitu kepercayaan yang mengakui lebih dari satu Tuhan. Meskipun di peradaban modern agama Islam mendominasi masyarakat Mesir, tapi kepercayaaan spiritual di masa lampau telah menjadi sistem identitas dan budaya masyarakat Mesir itu sendiri. Kuatnya nilai-nilai keagamaan di masa kuno yang menuntun pada keberagaman budaya —yang menjadi sistem sosial— tidak terpisahkan dari peradaban modern. Oleh sebab itu, perspektif ketuhanan di tengah masyarakat Mesir dapat dikatakan bersifat multidimensi.

Secara implisit, perspektif ketuhanan multidimensi masyarakat Mesir tertuang dalam kumpulan cerpen “Voices From The Other World” karangan Naguib Mahfouz yang menjadi tokoh bersejarah di kesusastraan Mesir. Peraih Nobel Prize tersebut dikenal dengan karya-karya yang bertemakan eksistensialisme. Ia memulai karier menulis di tahun 1930an yang bertepatan dengan momentum perang dunia II dan seusai perang dunia I.  Menurut Louis O. Katsoff (1986, p.443), adanya perang dunia mendorong seseorang untuk mempertanyakan Tuhan. Terutama ketika sedang terjebak dalam situasi yang menentukan hidup dan mati, secara sadar atau tidak sadar ia akan mengakui adanya Tuhan untuk merasakan perlindungan. Besar kemungkinan, pemikiran dan proses kreatif Naguib Mahfouz berdasar pada pengalaman tersebut sehingga tema eksistensialisme dan ketuhanan melekat pada karya-karyanya.

 

Maguib Nahfouz. Sumber foto: alaraby, Public domain, via Wikimedia Commons

 

Voices from The Other World” (2001) merupakan kumpulan lima cerpen yang membangkitkan kembali kisah-kisah di zaman Mesir kuno saat raja-raja masih berkuasa dan dewa-dewa dipuja. Naguib Mahfouz menghadirkan kisah-kisah tentang Firaun yang menggabungkan antara unsur kesejarahan dan imajinasinya. Dalam “Evil Adored” (1936), Naguib Mahfouz menceritakan kisah yang berlatar di zaman Periode Dinasti Awal dan mengangkat tentang seorang asing yang mencoba untuk membangun struktur masyarakat yang ideal di salah satu nome (wilayah administratif divisi administratif subnasional Mesir kuno).

Sementara itu “King Userkaf’s Forgiveness” (1938) menghadirkan nama Raja Userkaf yang menjadi raja di Dinasti Firaun Ke-5. Cerpen kedua ini menceritakan bagaimana Raja Userkaf menguji kesetiaan para pengikut serta anak dan istrinya dengan meninggalkan kerajaan.  Selanjutnya adalah “The Mummy Awakens” (1939) yang berlatar peradaban modern di mana terjadi kebangkitan mumi raja Horemheb yang berasal dari dinasti kedelapan. Kembali ke masa Mesir Kuno, di cerita keempat, “The Return of Sinuhe” (1941), Naguib Mahfouz menghidupkan cerita raja Sinuhe, tangan kanan raja Mesir, yang telah meninggalkan Mesir ke Siria dan ingin kembali ke Mesir. Cerita terakhir, “A Voice from The Other World” (1945) berisikan narasi dari sudut pandang orang pertama bernama Taw-ty yang menceritakan prosesi pembalseman dirinya yang sudah meninggal dan transisinya memasuki dunia lain. 

Raja atau Dewa Memiliki Sifat Tuhan

Dalam berbagai literasi Mesir Kuno, tersemat ramalan yang mengatakan bahwa manusia di masa depan dapat mengambil wujud dewa-dewa, binatang, atau makhluk hidup lainnya. Meskipun begitu, Tuhan hanyalah satu. (Peter Marshall, 1986). Namun, di masa Mesir kuno pun ramalan tersebut sudah terjadi yaitu dengan kehadiran raja atau dewa yang memiliki sifat ketuhanan. Raja pada masa itu menjadi pusat peradaban, mewakili Tuhan dan dewa-dewa untuk berkuasa dalam mengatur masyarakatnya (Kuiper, 2012).

Photo by Alberto Capparelli from Pexels


Dalam kumpulan cerpen “Voices from The Other World” kata “Lord” seringkali digunakan tidak hanya untuk menerjemahkan arti Tuhan tapi juga pangggilan untuk Raja atau dewa-dewa. Kata “Lord” juga digunakan untuk menerjemahkan kata rabb dalam bahasa Arab yang berarti Allah. Pada halaman 19: “That is what they say, sire. And they say this only because they lack something crucial to Our Lord: that is, faith in Him, the belief in Virtue”, kata Lord berarti Tuhan. Tapi kemudian pada halaman 35: “I cannot, my Lord…My duty is to serve my God, not to bring down kings”, kata “Lord” mengacu kepada panggilan Raja.

Menurut salah satu rohaniwan Kristen, Pdt.dr. Horas A.L. Tobing, kitab Ester di Alkitab, terdapat implikasi mengenai figur raja yang menjadi tokoh sentral tapi tidak ada penyebutan kata Allah atau Tuhan. Hal ini diyakini merujuk pada pemahaman tentang kedaulatan Tuhan terhadap manusia melalui sistem pemerintahan manusia. Hodgson (1974, p.347) juga mendukung pemahaman tersebut dalam konteks agama Islam yang memahami bahwa Khalifah atau Raja tidak lagi dipilih secara demokratis melalui musyawarah oleh umat Islam, melainkan dipilih oleh Tuhan, menjadi wakil Allah untuk berkuasa di Bumi atau khalifatullah fil-ardhi.

Merujuk kepada teks dalam “The Voices from the Other World”, sifat ketuhanan yang hadir di raja dan dewa tidak berarti meniadakan Tuhan sebagai pencipta. Akan tetapi, eksistensi Tuhan dihadirkan lewat cita-cita manusia untuk menjalankan kesehariannya yang mana cita-cita masyarakat Mesir kuno diwujudkan dengan kehadiran raja atau dewa sebagai pelindung atau pengatur kehidupan di dunia. Seperti juga yang dijelaskan oleh Dewey (Hassan, 2014):

Ketika manusia menjalankan hidupnya, mereka menghadapi hal-hal yang timpang seperti kekejaman, penipuan dan kematian. Dengan menggunakan imajinasi, manusia menggambarkan suatu masa depan dengan kehidupan yang lebih baik, lebih menyenangkan dan lebih berperikemanusiaan. Dengan kata lain, cita-cita tersebut timbul dari kebiasaan yang terjadi sehari-hari di dalam perjuangan untuk hidup dan mencapai kehidupan yang lebih baik. Di dalam kehidupan sehari-hari, kemungkinan-kemungkinan yang didambakan saling memengaruhi dengan keadaan-keadaan yang sesungguhnya, melalui perantaraan orang-orang yang berusaha mengadakan perubahan. Tuhan dapat didefinisikan sebagai hubungan yang aktif antara cita-cita dan keadaan yang sesungguhnya.

 

Tuhan Sebagai Pencipta

Sartre (1947, p.16-21)mengibaratkan Tuhan sebagai pencipta dengan konsep gunting dalam pikiran pembuatnya. Pembuat sebuah gunting adalah Tuhan dan gunting adalah manusia. Sebagai seorang pembuat gunting, ia membuat sesuatu dengan fungsi dan makna. Kehadiran pembuat sekaligus memberikan makna pada gunting agar dapat melakukan sesuatu. Tanpa adanya pembuat maka tidak ada gunting. Begitu pula Tuhan sebagai Pencipta. Ia menciptakan manusia lengkap dengan definisi manusia dan fungsinya di dunia. Jadi, eksistensi manusia merupakan realisasi konsep kecerdasan Ilahi.

Kata “Creator” yang diartikan “pencipta” dalam bahasa Indonesia tersemat di berbagai dialog dalam “Voices from the Other World” seperti pada halaman 28, “Praise be to my father Khnum for having invested me with people’s love and genuine loyalty, for the love of that which he has created is the Creator’s satisfaction”, juga pada halaman 53:

The man hailed me, in his own manner, and informed me that he had located—by means of his spiritual knowledge and through ancient books—a priceless treasure in the heart of my garden…… He was so annoying that I considered tossing him out. But he begged and pleaded with me until he wept, saying: ‘Do not mock the science of God, and do not insult his favored believers!”

Tidak hanya manusia, Tuhan juga digambarkan sebagai pencipta makhluk lainnya seperti hewan:“I knew Beamish quite well—he was the Pasha’s beloved dog, the most precious creature of God to his heart after his wife and children” (p.56).

Sekalipun masyarakat Mesir kuno mewujudkan sifat ketuhanan dalam manusia yaitu raja, mereka masih percaya bahwa ada satu Tuhan yang bersifat abstrak dan tidak dapat dijelaskan dan tidak berwujud. Marshall (2001) menegaskan ini dengan menyatakan bahwa masyarakat Mesir kuno percaya untuk melihat Tuhan, kita harus memahaminya dengan mata hati dan pengetahuan. Walaupun masyarakat Mesir adalah masyarakat yang sangat religius dan spiritual, mereka juga masyarakat yang menjunjung ilmu pengetahuan. Justru dengan ilmu pengetahuan mereka dapat memahami keberadaan Tuhan sebagai pencipta. Knowledge of God’s creation is an essential preliminary to knowledge of God (pengetahuan akan ciptaan Tuhan adalah bagian terpenting untuk mengetahui adanya Tuhan).

Sejumlah filsuf Yunani juga menuliskan tentang empat elemen: api, air, tanah, dan air yang berasal dari Tuhan. Bumi yang memiliki keempat elemen tersebut membuktikan bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan segala isinya termasuk manusia dan alam (Marshall: 2001). Jika Tuhan tidak ada, manusia tidak bisa memiliki nilai untuk melanjutkan eksistensinya di dunia (Sartre: 1947). Ini sejalan dengan pemahaman Kierkegaard tentang Tuhan sebagai Pencipta, sekalipun bersifat abstrak, Ia perlu diyakini sebagai sebuah kebenaran yang dihayati secara subyektif. Tuhan hanya akan bereksistensi berdasarkan kepercayaan (Hassan, 1976).

 

Tuhan Bermakna Dalam Kematian

Kematian dalam budaya masyarakat Mesir kuno memiliki makna yang mendalam. Kematian menjadi langkah persatuan kembali manusia dengan Tuhan sehingga manusia mencapai keabadian. Dalam proses keabadian itu sendiri, kematian menggabungkan nilai kemanusiaan, duniawi dan ketuhanan. Lebih jauh lagi, mereka percaya bahwa selama tubuh seseorang yang sudah meninggal masih utuh berada di Bumi, ia bisa pergi ke surga dan bertemu dengan Tuhan dan para pendahulunya. Itulah alasan adanya prosesi pembalseman dan mumi (Marshall, 2001).

Cerpen yang berjudul “The Mummy Awakens” dan “A Voice from the Other World” mengeksplorasi pemahaman kematian tersebut:

I did not feel the troubling captivity of Death until my soul saw the astounding things that take place in this world, while I was bound with the shackles of Eternity, unable to move. Nor could I go to you, because my life had ended, as Osiris had decreed. But you came to me on your own two feet. I am bewildered at how you could seduce yourself into doing this foolish thing. Madness and vanity have overtaken you. Do you not praise the gods that Death had intervened between us…” (p.68)

Penggalan monolog ini terdapat di cerpen “The Mummy Awakens” di mana raja Hor yang sudah dibalsem dan menjadi mumi hidup kembali ribuan tahun setelahnya. Dalam cerita ini, Naguib Mahfouz seakan menyindir tentang kepercayaan tentang kematian di masyarakat Mesir kuno. Ia menyajikan ironi dengan menghadirkan raja Hor —yang sudah meninggal dan berada dalam keabadian karena tubuhnya masih ada di Bumi— di peradaban modern. Namun, manusia yang masih hidup justru ketakutan ketika melihat fenomena tersebut. Ini menjadi bertentangan dengan hasrat masyarakat Mesir kuno yang berharap untuk bertemu kembali dengan pendahulunya, termasuk Tuhan atau raja dan dewa-dewa yang dianggap Tuhan.

Di sisi lain, pada “A Voice from The Other World”, terdapat narasi-narasi yang lebih menegaskan kepada pertanyaan akan kematian, yang sekaligus mempertanyakan kehadiran Tuhan dalam kematian tersebut. Seperti pada p. 84: “By God, what does this tomb want for the good things of a bygone existence? It is a fragment of life’s essence rich with lusciousness and luxury” dan juga pada “O Lord! Do I not still remember the day that rent my world between life and death?”. Setiap kali Taw-ty, narrator dalam cerita mengungkapkan proses kematiannya yang melibatkan pembalseman, ia seperti mengeluhkan kematian pada Tuhan. Penggunaan “O Lord”, “O holy Amon”, “O Divine Amon” untuk mengeluh kepada Tuhan atau dewa-dewa yang memiliki sifat ketuhanan juga digunakan dalam konteks yang sama ketika menyatakan “O Death”: “How cruel you are,O Death! I see you advancing toward your target on two sure feet, with a heart made of stone. You do not tire or weary, tears do not sway you, you do not show mercy, nor do hopes arouse your sympathy.”

Dalam konteks ini, sebenarnya makna kematian dalam kebudayaan masyarakat Mesir kuno pun dipertanyakan kembali. Dalam teks pun terdapat penyanggahan atas pemaknaan kematian yang dianggap abadi: “O Lord, no matter how the soul suffers and is tortured, it goes on inventing and creating just the same” (p.104). Di sini, seakan-akan karakter ingin menyatakan bahwa seberapapun jiwa-jiwa dihukum nantinya, ia tidak akan mulia sekalipun telah dijadikan mumi dan dijanjikan masuk surga dengan tubuhnya tetap berada di Bumi.

Memahami kematian, Sartre mengungkapkan bahwa maut sebenarnya tidak memiliki pengaruh terhadap eksistensi manusia sebab ketika tiada, eksistensi manusia selesai. Barulah setelah itu eksistensi menjadi esensi karena kematian berada di luar eksistensi. Pada dasarnya, kematian kita bermakna untuk orang-orang yang ditinggalkan. Tidak bermakna untuk kita sehingga tidak perlu diagungkan.

Photo by Frans Van Heerden from Pexels

Tuhan Adalah Kebaikan

Menerjemahkan apa yang dipahami Sartre dan Kierkegaard mengenai kemanusiaan yang berhubungan dengan kebaikan dan kejahatan, Hassan (1976) mengambil pemahaman subyektivitas dari keduanya. Eksistensialisme memahami adanya kebebasan menentukan pilihan sebab manusia menentukan sendiri apa yang mereka ingin lakukan, termasuk dalam melakukan kebaikan maupun kejahatan. Namun, kebaikan memberikan nilai pada manusia sehingga manusia dapat memberikan pemaknaan pada eksistensinya di dunia. Dalam menentukan kebaikan, seringnya manusia melekatkannya pada sifat-sifat ketuhanan karena kebaikan juga berhubungan erat dengan agama dan spiritual. Ini tampak pada teks-teks dalam kumpulan cerpen “Voices from the Other World ” seperti pada p.19: “That is what they say, sire. And they say this only because they lack something crucial to Our Lord: that is, faith in Him, the belief in Virtue. They do not have the proper faith in goodness.”

Dalam teks ini, ketika seseorang tidak melakukan kebaikan (virtue), maka ia sebenarnya kekurangan iman terhadap Tuhan sebab ia tidak percaya pada kebaikan. Kehadiran Tuhan dalam kebaikan juga muncul di p.35: “May the God treat you kindly, my dear friend, Horurra,” said the king” dan “May the Lord bless you, O exalted king, for forgiving me”. Dalam dua kalimat ini, setiap kali kebaikan diucapkan, kata Tuhan juga diucapkan sebagai representasi dari tindakan baik tersebut. Dapat diasumsikan bahwa kebaikan berkaitan erat dengan persepsi ketuhanan bahwa manusia yang melakukan kebaikan memiliki sifat ketuhanan.

Kesimpulan

Berdasarkan kumpulan teks kumpulan cerpen “Voices from The Other World” karya Naguib Mahfouz, dapat disimpulkan bahwa penulis ingin mencoba menyatakan persepsinya tentang Tuhan dalam ruang multidimensi. Pemaknaan itu sendiri berdasar pada teori eksistensialisme yang menekankan tentang subyektivitas. Dari teks juga ditunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat Mesir kuno yang beragam tidak meniadakan kepercayaan mereka akan Tuhan. Walaupun persepsi ketuhanan mereka dapat diterjemahkan secara multidimensi. Pertama, sifat ketuhanan terdapat pada raja-raja atau dewa-dewa karena mereka dianggap sebagai wakil Tuhan. Meskipun begitu, mereka tetap percaya bahwa ada satu Tuhan yang menjadi Pencipta segala makhluk di dunia.

Selain itu, Tuhan juga erat hubungannya dengan kematian yang mana kematian dalam budaya masyarakat Mesir kuno memiliki pemaknaan mendalam. Akan tetapi, dalam teks pemaknaan kematian yang dianggap mulia berseberangan dengan pemahaman eksistensialisme. Naguib Mahfouz seolah ingin memberikan pemikiran alternatif mengenai kematian agar dapat dianggap sebagai bagian dari kemanusiaan bukan keilahian. Terakhir, dalam teks juga terdapat wujud Tuhan juga selalu hadir dalam tindakan baik manusia yang mana berarti bahwa kebaikan menjadi salah satu alasan manusia bereksistensi.

Daftar Pustaka

Hassan, Fuad. (1976). Berkenalan Dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hassan, Fuad. (2014). Psikologi-Kita dan Eksistensialisme. Depok: Komunitas Bambu

Katsoff, L. (1986). Elements of Philosophy. New York: The Ronald Press Company

Kuiper, K. (2012). Ancient Egypt: From Prehistory to the Islamic Conquest (Britannica Guide to Ancient Civilizations). New York: Britannica Digital Learning

Mahfouz, Naguib. (2004). Voices from the Other World. New York: Anchor Books

Marshall, P. (2001). The Philosopher’s Stone: A Quest for the Secrets of Alchemy. London: Macmillian

Sartre, J. (1947). Existentialism. New York: Philosophical Library.

Suwirta, A. (1994). “Raja, Wakil Allah, dan Manusia Sempurna” dalam surat kabar Pelita. Jakarta: 10 Maret, hlm.4.

Tobing, H. Kedaulatan Allah di Tengah Krisis Kehidupan. Diakses pada 15 Agustus 2021 dari https://kemenag.go.id/read/kedaulatan-allah-di-tengah-krisis-kehidupan-nvpp