Dalam kepalanya, Maya selalu mendengar alunan musik meski ia bukanlah seorang musisi. Bahkan, ia tidak bisa memainkan satu pun instrumen. Menariknya, dibandingkan teman-teman lainnya yang mulai mendengarkan musik menggunakan gawai seperti Walkman, Maya yang lebih sering dipanggil Mae oleh sahabatnya, Kitty panggilan kecil dari Katherina, lebih memilih mendengarkan musik dengan gramofon milik ibunya. Seolah itu caranya untuk mengingat mendiang ibunya yang meninggal karena kecelakaan. Setelah kecelakaan tragis yang menimpa ibunya, Maya tinggal bersama Om Lukman dan Tante Sari. Sedangkan ayahnya dipertimbangkan tidak memenuhi syarat untuk merawatnya dan tinggal entah di mana. Maya sudah hidup tanpa orang tua kandung sejak umur 10 tahun. Sejak itu pula hidupnya penuh dengan imajinasi, dan ambisi yang lambat laun bertumbuh menjadi..obsesi.
Ketika ibu Mae masih hidup, ia selalu mendorong Mae untuk berimajinasi dan memiliki ambisi untuk menjadi seseorang yang berbeda dari orang lain. Salah satu alasannya adalah karena mereka bukan dari keluarga mampu yang dilimpahi privilese. Cara untuk bertahan hidup versi ibu Mae adalah dengan berimajinasi tentang masa depannya. “Kamu harus tahu kamu maunya apa. Itulah kunci sukses, Maya”, begitulah mantra yang menjadi momok di otak Mae sejak kecil. Tapi seperti anak kecil lainnya, imajinasi Mae bukanlah tentang menjadi pemimpin sukses, orang kaya, atau punya pekerjaan yang dibayar mahal seperti dokter. Imajinasinya hanyalah sebatas pura-pura bisa memainkan piano, gitar, atau instrumen lainnya. Imajinasi yang tidak pernah diperkenalkan oleh ibunya.
Figur lain yang memengaruhi perilaku Maya sejak kecil selain ibunya adalah Kitty. Mereka sudah berteman sejak di taman kanak-kanak. Entah apa yang membuat mereka bisa berteman dekat, tapi sampai remaja kini, mereka hampir tidak pernah bertengkar. Entah karena mereka dua pribadi yang sangat bertolak belakang sehingga saling melengkapi, atau mereka hanyalah dua individu yang tidak suka memercik kontroversi dan menyimpan ego masing-masing supaya tidak saling menyakiti satu sama lain.
Kitty adalah pengagum setia Mae. Ia sering berpikir Mae adalah alter ego-nya. Dia yang pemalu dan cenderung introver merasa aman di dekat Mae yang berani mengutarakan pendapatnya dan cenderung agresif. Kitty juga bukan seperti Mae yang tahu apa yang diinginkan dalam hidup. Ia tidak punya ambisi sebesar Mae. Hanya satu keinginannya yaitu tinggal di rumah orang tuanya dengan damai sampai mereka tutup usia. Padahal potensi diri Kitty tidak kalah besar dari Mae. Inilah yang terkadang membuat Mae kesal dalam hati dan mempertanyakan kenapa Mae tidak mempergunakan privilese yang dimilikinya. Sulit mengutarakan perasaan yang sebenarnya, Mae hanya bisa menyindir halus. Sindiran yang tidak mempan untuk orang seperti Kitty.
Beberapa bulan lalu, kedua orang tua Kitty menawarkannya untuk sekolah di luar negeri. Ia pun bisa ambil jurusan apapun yang diinginkan. Semuanya ditanggung oleh kedua orang tuanya. Tapi Kitty menolak dengan alasan cinta sekolah dalam negeri. Mae pun menyindir halus, “Kalo aja itu kesempatan buat gue ya Kit, gue pasti udah ambil double major di Yale. Ambil literature sama history.”
Tanpa dipikir matang-matang, Kitty membalas, “Ih Mae, aku kan bukan kamu. Pusing, ah, belajar terus. Eh, kamu mau ambil tawaran dari papi mami aku? Aku bilang mereka supaya biayain kamu, ya?”.
Raut wajah Mae spontan kebingungan sambil buru-buru menolak, “No..no..bukan itu maksud gue. Maksudnya, sayang aja enggak sih ada kesempatan emas disia-siain?”
“Aku malah sayang sia-siain waktu di luar negeri gak ketemu papi mami. Gak ketemu kamu. Empat tahun lama, Mae.”
“Gitu, ya?”, sambar Mae sekenanya.
Tubuh Mae ada di hadapan Kitty, tapi tidak dengan pikiran dan perasaannya. Sering ia merasa dunia tidak adil. Kitty berasal dari dua orang tua yang sangat suportig. Tak pernah sekalipun memerlihatkan pertengakaran di depannya dan hampir tidak pernah bilang “tidak” pada Kitty. Bahkan ketika ibu Mae meninggal dan Kitty meminta mereka mengadopsi Mae, kedua orang tua Kitty langsung menjalankan proses pemberkasannya. Tapi, gengsi dan kemandirian Mae yang ditanamkan oleh ibunya menolak tawaran tersebut. Padahal, ia juga sebenarnya tidak kerasan tinggal dengan Om Lukman dan Tante Sari. Walaupun tidak pernah ada masalah di antara mereka, tapi ia tetap bukan anak kandung. Ia akan selalu menjadi orang asing di rumah itu. Ia akan selalu merasa menjadi orang asing di rumah siapapun.
Sense of belonging, perasaan memiliki dan dimiliki, sesuatu yang sudah memudar sejak kepergian ibu Mae. Seberapa pun dekatnya Kitty dengan Mae, seberapa pun kerasnya Kitty mencoba mendekatkan kedua orang tuanya supaya Mae bisa merasakan kasih sayang orang tua, Mae tetap tidak bisa menemukan arti sebuah “rumah”. Tidak tahu di mana dan pada siapa ia harus mencarinya.
Dalam lamunan, Mae berharap ia bisa menghuni rumah Kitty, menjadi anak dari kedua orang tua Kitty. Dalam lamunan, Mae berharap bisa meneriaki Kitty:
Lo tuh harusnya sadar lo beruntung banget, Kit. Lo punya segalanya. Orang tua yang baik dan sayang banget sama lo. Seluruh kekayaan, kesempatan, kebaikan yang enggak semua orang bisa punya. Tapi kenapa lo sia-siain keberuntungan lo dengan diem aja, enggak ngelakuin apa-apa kayak orang bego. Sumpah lo enggak bersyukur banget.
Lamunan itu seketika buyar saat Kitty memanggil Mae berulang-ulang dan tidak direspon. “Hah? Iya, Kit. Sorry. Gue rada ngantuk tadi jadi blank. Lo bilang apa barusan?”
“Tadi aku nanya, jadinya selain Universitas Maharani kamu daftar beasiswa di mana lagi?”
“Oh..gue daftar di beberapa univ di Indonesia sih. Di Universitas Indonesia sama Gajah Mada.”
“Serius? Ah aku mau coba juga ah kalau kamu masukin di sana. Gak apa, kan?”
“Yah enggak apa-apa lah. Lo mau nyoba jalur beasiswa juga?”
“Mungkin, ya. Gak apa, kan?”
Mae menelan ludah sambil membalas getir, “Hmm.. kita jadi kompetitor dong nih ya.”
Kitty tertawa kecil mengira Mae sedang bercanda.
***
Sejak terakhir membicarakan pendaftaran kuliah dan beasiswa, Mae dan Kitty saling membantu satu sama lain untuk mempersiapkan ujian masuk universitas. Mereka sama-sama daftar di universitas yang sama. Sama-sama mendaftar beasiswa yang sama. Di satu sisi, Mae merasa tertantang berkompetisi dengan Kitty. Seolah sisi ambisius dalam dirinya tersalurkan. Ia tahu Kitty bukanlah saingan yang mudah. Mae tahu benar kemampuan akademis Kitty. Setiap hari, sepulang belajar dengan Kitty, Mae kembali belajar sendiri.
Gue enggak boleh kalah dari Kitty yang udah beruntung. Create your own luck, Mae! Lo hidup sendiri sekarang, lo yang nentuin sendiri masa depan lo.
Begitulah monolog singkat Mae setiap hari menjelang ujian masuk Universitas. Tanpa ia tahu, ternyata Kitty diam-diam mengikuti kursus ujian masuk.
“Aku gak mau pisah sama Mae, pi. Aku harus bisa masuk universitas yang sama. Tapi aku gak enak hati kalau jujur sama Mae, kalau aku ikut kursus. Nanti dia merasa aku saingan. Jadi… jangan sampai Mae tahu aku kursus. Ok, pi, mi?” jelas Kitty saat pertama kali meminta kursus pada orang tuanya. Tentu saja mereka yang tidak bisa bilang “tidak” pada anak semata wayangnya langsung menurut. Setiap kali Kitty sedang kursus dan Mae ke rumah, mereka selalu punya beribu alasan. Selain itu, untuk menghindari perasaan bersalah pada Mae, papi dan mami Kitty selalu mengusahakan untuk mengantar, menunggu, dan menjemput Kitty di tempat kursus supaya tidak ada di rumah. Kedua orang tua Kitty sebenarnya enggan berbohong pada Mae karena Mae sudah mereka anggap seperti anak mereka sendiri. Terutama papi Kitty yang merasa punya kedekatan spesial dengan Mae.
Papi Kitty adalah seorang musisi. Ketika tahu Mae bisa bermain berbagai instrumen tanpa pernah belajar, ia merasa seperti menemukan permata yang harus diasah. Sejak kecil, setiap kali bermain di rumahnya, Mae dan papi Kitty selalu menyisihkan waktu untuk bermain piano. Papi Kitty juga yang mendorong Mae untuk meneruskan bakatnya menjadi musisi profesional. Tapi Mae yang sudah berjanji pada ibunya untuk mewujudkan mimpi ibunya yang tidak pernah jadi kenyataan, tidak mau mempertimbangkan saran itu. Mae memilih untuk menggeluti dunia jurnalisme agar bisa menggapai cita-cita ibunya menjadi seorang pembawa berita.
Ketika saatnya pengumuman masuk universitas tiba, Mae dan Kitty memutuskan untuk menunggu di tempat yang sama. Di dalam kamar Kitty, mereka memantau laptop masing-masing dan menekan tombol refresh pada halaman pos-el. Waktu tepat menunjukkan pukul 12.00 siang. Belum juga muncul notifikasi hingga akhirnya angka nol-nol berubah menjadi nol-satu. Nol-dua. Nol-tiga. Nol-empat. Nol-lima..dan munculah subyek surel yang dicetak tebal.
Di waktu yang sama mereka membuka lampiran masing-masing. Universitas Maharani adalah universitas yang memberikan beasiswa penuh selama perkuliahan beserta uang saku. Hanya 3 orang yang diberikan beasiswa penuh tersebut. Mereka juga tidak membuka kesempatan untuk kandidat cadangan. Jika kandidat terpilih menolak beasiswa, makan beasiswa akan hangus dan tidak akan diberikan pada calon mahasiswa lain.
Kitty tersenyum lebar di depan layar. Wajahnya yang sumringah semakin bersinar tersorot lampu layar laptop. Diliriknya Mae. Mae terpatung. Tidak bergeming. Bahkan ia terlihat tak berkedip sedikit pun.
Kitty mengguncang-guncang bahu Mae berusaha mengembalikannya dari keheningan, “Mae..Mae.. kamu kenapa? Gimana hasilnya?”
“Gu..guee..enggak dapet beasiswa”, setetes air mata Mae mengalir tanpa ia sadari.
Spontan Kitty memeluk Mae, “Masih ada dua universitas lain. Pasti dapet yang lain. Sabar, yah.”
Tak kuasa menahan emosi yang bergejolak dalam dada, ia meminta Kitty meninggalkannya sebentar. Patuh pada permintaan Mae, Kitty pun beranjak dari kamar.
Beberapa menit setelah Kitty keluar, Mae menutup wajah dengan kedua tangannya dan meraung. Menyadari suaranya akan terdengar ke luar, ia mengambil bantal untuk menyumpal suara teriakannya.
“Arrrgggghhhh sialan!!! Kenapa sih enggak keterima? Kenapaaaa!!!”, teriakan Mae silih berganti dengan isak tangis dan pukulan tangan ke kepalanya. Ia pun berdiri dan mengobrak-abrik buku-buku Kitty di meja belajar. Seketika ia menyadari itu bukan kamarnya dan segera mengambil tumpukan buku-buku yang berserakan. Sambil megusap air mata yang deras terjatuh ke pipi, ia mengambil buku-buku Kitty satu per satu.
Tiba-tiba sebuah buku yang sedang dipegangnya membuat dahi Mae mengernyit. Panduan Sukses Dapat Beasiswa. Dibukanya halaman demi halaman. Terbongkarlah sudah rahasia Kitty mengikuti kursus untuk jadi lawan Mae. Sejenak Mae hanya bisa terduduk menatapi buku itu lekat-lekat sambil mengumpulkan berbagai emosi yang muncul dalam dirinya.
“Kiiit..Kitty!”, panggil Mae tanpa menunjukkan kemarahannya.
Langkah kaki Kitty menaiki tangga terdengar buru-buru hingga sampai masuk kamar, “Kenapa, Mae?”, napas Kitty tersengal-sengal.
Di tangan Mae tergenggam buku kursus Kitty, “Lo ikut kursus intensif khusus untuk dapet beasiswa?”
“Uhmm..iyaa..”, wajah Kitty terlihat panik, keringat mulai bercucuran di pelipis dahinya, jantungnya pun ikut berdetak kencang. “Mae..jangan salah paham, ya. Aku cuma mau bisa sekolah sama kamu. Supaya kita bisa sama-sama terus.”
“What? Lo tuh ngerti enggak sih? Lo tuh bisa masuk universitas mana aja tanpa harus ambil beasiswa. Kenapa lo mesti ikut jalur beasiswa kalau lo mampu? Kesempatan gue buat dapet bakal berkurang dengan adanya lo! Kita bisa tetep kuliah bareng tanpa lo harus masuk jalur beasiswa!”
“Aku..aku cuma mau ikutin yang kamu lakukan. Lagi pula, aku juga gak mau buat repot papi mami. Tapi, yang menentukan aku dapet beasiswa mereka Mae. Bukan aku.”
Mae menarik napas, diikuti dengan matanya yang membelalak seolah siap menelan siapapun di depannya bulat-bulat, “Wait..jadi..jadi lo dapet beasiswa dan gue enggak?”.
Kitty menelan ludah yang terasa seperti kerikil masuk ke dalam tenggorokannya. Ia mencari kata-kata yang tepat untuk keluar dari mulutnya yang kini tertutup rapat sehingga bisa terdengar indah layaknya alunan musik klasik di telinga Mae. Tapi pencarian itu terasa gagal, otaknya mendadak tak berfungsi. Begitu pun dengan mulutnya. Sebelum ia bisa menenangkan Mae, Mae membanting buku kursus Kitty.
“Gue kecewa sama lo, Kit. Selama ini kita enggak pernah berantem. Gue pikir kita adalah sahabat yang saling melengkapi. Ternyata, gue salah. Selama ini kita enggak pernah jadi sahabat. Semuanya palsu karena ternyata gue cuma menahan diri. Terlalu banyak emosi yang gue pendem karena lo dan orang tua lo udah baik banget sama gue. But, that’s it. Mungkin ini saatnya ktia belajar berantem. Buat sementara, lebih baik kita enggak usah ketemu atau ngomong dulu. Please kasih gue space”, pernyataan Mae ditutup dengan bantingan pintu kamar yang terdengar hingga ke seluruh ruangan dan membuat orang tua Kitty terkejut.
“Mae..kenapa?”, tanya papi Kitty seraya menahan Mae keluar dari rumahnya.
“Om pasti tahu kan Kitty ikut kursus buat dapet beasiswa?”
“Iya, om tahu. Kitty hanya mau kuliah bersama kamu, Mae. Tidak bermaksud jadi sainganmu”, papi Kitty mencoba menenangkan.
Sambil tetap berjalan keluar rumah Kitty, Mae menahan tangis tanpa menengok sedikit pun ke arah papi Kitty, “Congrats, Om. Kitty dapet beasiswa. Aku enggak.”
***
Karena nila setitik akan rusak susu sebelanga. Peribahasa ini sangatlah tepat menggambarkan situasi pertemanan Mae dan Kitty saat ini. Satu kebohongan Kitty terhadap Mae membuatnya enggan untuk bertemu Kitty lagi. Setiap kali memikirkan Kitty, dalam benaknya hanya terulang sebuah pertanyaan, “Kenapa bukan gue?”. Bukan Mae yang punya orang tua seperti papi mami Kitty. Bukan Mae yang punya kemewahan hidup seperti Kitty. Bukan Mae yang mendapatkan beasiswa. Semua Kitty. Bahkan Mae gagal mendapatkan beasiswa di manapun.
Dari balik jendela kamarnya yang berhadapan langsung dengan kamar Kitty di seberang, Mae hanya bisa merenung sambil tenggelam dalam kekesalan dan kekecewaan. Ia tak tahu siapa yang sebenarnya harus disalahkan. Apakah dirinya sendiri yang tidak pintar sampai tidak bisa mendapatkan beasiswa? Atau memang Kitty pantas disalahkan karena telah “mencuri” beasiswa dari orang-orang kurang mampu seperti dirinya? Atau sistem pendidikan yang kurang jeli memberikan beasiswa pada orang-orang mampu seperti Kitty?
Di saat yang sama, ternyata Kitty pun sedang melihat ke seberang jendela kamarnya. Ia tahu Mae sedang melihat ke arahnya. Kitty pun tersenyum.
“Maaf Mae. Tapi aku harus melakukan ini. Aku gak mau kehilangan semuanya”, bisik Kitty pada dirinya sendiri sambil mengingat isi surat ibu Mae yang dikirimkan tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-17. Ternyata kursus bukanlah satu-satunya rahasia yang disimpan Kitty pada Mae. Ternyata, rahasia kecil itu hanyalah kamuflase untuk menutupi satu rahasia besar yang tidak akan pernah dibocorkan Kitty pada Mae dan siapapun.
Teruntuk anakku Katherina,
Ibu tidak tahu harus memulai dari mana. Kamu mungkin terkejut membaca surat ini. Jika surat ini sudah sampai padamu, mungkin aku sudah tak lagi ada di dunia atau pada akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu kenyataan yang sebenarnya padamu. Katherina, Kitty, anak kandungku. Kamu sebenarnya tertukar dengan Maya. Ibu pun baru mengetahui ini ketika usia kalian 7 tahun. Saat itu, Ibu melihat tanda lahir kamu di bagian bokong yang berbentuk hati. Ibu ingat tanda lahir itu saat kamu bayi. Hanya saja, para bidan dan dokter bilang segala tanda saat bayi mungkin bisa memudar hingga hilang ketika besar. Ibu pikir itu yang terjadi pada Maya. Tanda itu hanya ada saat ia lahir kemudian beberapa hari setelahnya hilang. Ternyata ibu melihatnya ada padamu ketika kalian mandi bersama di rumah. Awalnya Ibu tidak curiga. Tapi semakin hari semakin banyak tanda-tanda yang membuat Ibu penasaran untuk menguji apakah kamu anak kandung Ibu atau bukan.
Akhirnya tanpa kamu tahu, Ibu menjalani tes DNA dengan sehelai rambutmu. Benar saja, kamu anak kandung Ibu. Tapi, Ibu bingung bagaimana harus mengungkapkan ini. Tidak mudah untukmu tahu aku Ibumu. Terutama karena kedua orang tuamu yang baik, kehidupanmu yang normal dan dipenuhi segala kemujuran. Aku memutuskan untuk memberitahumu di usia ke-17 dan akan membiarkanmu memilih jalan seperti apa yang ingin kamu tempuh. Ibu beruntung bisa tetap menyaksikan pertumbuhanmu meskipun kamu tidak tahu Ibu adalah Ibu kandungmu. Semoga suatu saat Ibu punya kesempatan untuk merengkuhmu sebagai anak kandungku dan begitu pula kamu terhadapku.
Kutunggu hingga saat itu tiba,
Amala Dewi
Surat itu telah lenyap dimakan api seusai Kitty meresapinya. Bagai teror, Kitty tidak bisa merasa tenang hingga detik ini. Tentu saja ia tidak mau kehilangan kedua orang tuanya yang sebenarnya sudah menyayangi Mae seperti anak sendiri. Ia tidak mau kehilangan seluruh keistimewaan hidup yang dimilikinya. Sekalipun orang tua Kitty pasti akan tetap menganggapnya sebagai anak kandung, tapi pasti akan ada yang berubah. Ia tidak akan jadi prioritas. Mereka pasti akan melakukan upaya pemenuhan hidup Mae selama 17 tahun. Rasanya Kitty tidak sanggup untuk jadi anak kedua. Selama 17 tahun ia sudah bahagia menjadi anak tunggal yang punya segalanya. Walaupun Mae sudah seperti saudara sendiri, tapi mereka tetap bukan keluarga.
Itulah alasan Kitty tidak mau kuliah di luar negeri, dan selalu ingin mengikuti Mae. Keep your friends close and your enemies closer. Mae adalah teman sekaligus “musuh” Kitty saat ini. Identitas Mae yang sebenarnya mengancam identitas Mae. Tidak ada yang lebih berarti dari pada hidup nyaman dan aman seperti selama 17 tahun ini. Tidak heran Kitty melancarkan strategi sabotase. Ia tahu benar Mae akan membencinya kalau tahu ia yang mendapatkan beasiswa, bukan Mae. Setelah ini, Kitty bisa membatalkan semua beasiswa yang diterimanya dengan alasan tidak enak pada Mae. Kitty bisa bilang ia trauma untuk mencari universitas. Dengan begitu kedua orang tuanya tidak akan mendorong Kitty untuk kuliah di mana-mana lagi. Ia sudah mempersiapkan proposisi untuk berada di rumah, melatih kemampuan bermusik di rumah dan menjadi guru musik di rumahnya. Pertengkaran Kitty dan Mae pun bisa jadi alasan Kitty untuk meminta orang tuanya pindah rumah. Pindah sejauh mungkin dari Mae. Meninggalkan takdir yang seharusnya menjadi hidup Kitty, begitu pula hidup Mae.