Kerupuk Adalah Crackers

“Yaang, jangan lupa beli kerupuk, ya!”, teriak Revi dari kamar mandi pada istrinya yang hendak beli hidangan masakan padang untuk makan siang. “Kerupuk kulit pakai kuah. Kalau ada beli kerupuk putih juga,” tambah Revi. Selagi menuang sampo ke kepalanya, Revi sudah membayangkan gurihnya kerupuk kulit yang terendam di dalam kuah santan khas rumah makan padang sebagai menu pembuka. Buru-buru ia menyelesaikan sesi mandi pagi yang sudah kesiangan supaya bisa siap sedia saat makanan sampai dan segera menyantap hidangan makan siang yang menyempurnakan hari Sabtu-nya. 

Bagi sebagian orang, kerupuk hanyalah sebuah makanan pelengkap. Ada atau tidak ada, tidak masalah. Malah, banyak orang yang cuma menyantap kerupuk sebagai camilan. Beda dengan Revi. Ia membuat kerupuk jadi bagian penting dalam menu makanannya. Setiap makanan punya jenis kerupuk pendamping yang berbeda-beda. Kerupuk kulit, misalnya, hanya akan ia santap bersama dengan lauk dan kuah santan khas masakan padang. Sedangkan kerupuk udang, hanya akan ia makan dengan nasi goreng.

Kebiasaan makan Revi yang unik ini sudah terjadi sedari ia kecil. Mungkin karena sewaktu kecil ia sering dilarang oleh Oma yang menganggap kerupuk adalah lambang keprihatinan. Revi adalah orang Indonesia yang pindah ke Amygda Land ketika remaja. Akan tetapi, keluarga besarnya masih tinggal di Indonesia sampai sekarang. Usut punya usut, di masa penjajahan kerupuk jadi makanan pokok masyarakat Indonesia karena kesulitan mendapatkan bahan makanan yang layak. Lucunya, beranjak dewasa Revi justru semakin sering makan kerupuk sampai-sampai tidak bisa makan kalau tidak pakai kerupuk. 

“Yang, aku enggak jadi beli masakan padang. Jadinya beli soto ayam surabaya”, teriak Kirana memasuki rumah. “Rumah makan padang yang biasa lagi tutup. Jadi, aku beli soto yang di sebelahnya aja”, Kirana kini berada di dapur, menyiapkan peralatan makan lalu menuang soto yang masih panas ke dalam mangkuk yang sudah berisi nasi.

Keluar dari kamar dengan rambut yang masih basah Revi pun mengeluh, “Yah…padahal aku sudah membayangkan makan rendang pakai kerupuk kulit.”

“Ya udah, nanti malem aja sambil keluar jalan-jalan kita cari restoran padang”, Kirana berusaha membujuk. “Nih, aku beliin juga kerupuk nasi buat soto.”

Meski masih kecewa tidak dapat menyantap masakan padang, raut wajah Revi terlihat lebih cerah saat mendengar istrinya membeli “paket lengkap” tanpa harus diingatkan. “Iya, terima kasih sayang sudah dibelikan. Yuk, makan.”

Selagi mereka mulai menikmati makan siang, smartphone Revi berbunyi tanda beberapa pesan masuk. Menunda suapan kuah soto yang masih panas, Revi beranjak dari meja makan dan mengambil handphone. Pikirnya mungkin ada sesuatu yang genting karena suara dering yang terus-terusan memanggil. 

Vi, agensi kita dapat dapat proyek ke Belanda. Lo diminta pak bos berangkat minggu depan, ya. 

Satu pesan dari atasan Revi terbaca. Revi mengerutkan dahi dengan mata yang membelalak ke layar. Pesan itu diikuti dengan pesan-pesan yang serupa dari bos besar, sekertaris kantor, sampai rekan kerja yang akan berangkat bersama Revi. Rupanya, agensi tempat Revi bekerja sebagai penerjemah mendapat proyek di Belanda yang mengharuskannya terbang dan menerjemahkan para pembicara. 

“Siapa, yang?”, Kirana menangkap ekspresi Revi yang terlihat sedang dalam kebingungan.

“Hmmm…aku harus berangkat ke Belanda minggu depan, mendadak”, jawabnya sambil tetap membaca setiap pesan di handphone yang terus berdatangan.

Kirana langsung berhenti mengunyah dan menelan nasi soto yang ada di mulutnya bulat-bulat, “Kamu enggak tahu bakal pergi sebelumnya? Aku sendirian dong nanti. Berapa lama perginya?”

“Hmm..tahu tapi tidak tahu  benar akan pergi atau tidak. Sepertinya sekitar 2 minggu. Kamu lanjutkan saja makan. Aku mengurus ini sebentar. Nanti sepertinya kita perlu ke supermarket. Aku mau beli kerupuk mentah untuk persediaan di sana.”

Ya. Layaknya dua sejoli, Revi tidak bisa jauh-jauh dari kerupuk. Bahkan mungkin kalau disuruh memilih antara kerupuk dan Kirana, ia akan memilih kerupuk. Apalagi ia harus pergi jauh dari tanah air, ia harus membawa kerupuk yang cukup selama berada di negeri orang. Ini adalah kali pertama Revi pergi ke luar negeri. Tentu ia tidak tahu makanan apa saja yang akan disantap di sana dan kerupuk apa yang cocok dengan hidangan tersebut. Ia pun memutar otak. Kerupuk apa saja yang cocok dengan segala jenis makanan? Kerupuk apa yang tergolong versatile alias serbaguna?

Ia pun langsung melakukan pencarian internet tentang jenis-jenis makanan yang sering di makan orang Belanda. 

“Kerupuk putih, kerupuk udang, kerupuk bawang”, sebut Revi dalam hati. Ia menemukan ternyata makanan di sana banyak jenis sup. Tiga kerupuk itu bisa cocok untuk dipadupadan. Kalau ia tidak cocok dengan makanan di sana, ia sudah siap-siap dengan mi instan. Mi instan dan kerupuk adalah kombinasi bertahan hidup yang ciamik untuk Revi. Keduanya jadi makanan pokok ketika ia masih kuliah dan tinggal sendirian di kos. 

***

Seminggu telah berlalu sejak Revi mendapat kabar dinas ke Belanda. Revi pun sudah sampai di negeri kincir angin itu, di Amsterdam lebih tepatnya. Sesampainya di ibu kota Belanda, Revi dan tim agensinya dipandu oleh tim acara ke hotel.

“Di hotel ada microwave ya, Pak?”, pertanyaan pertama Revi pada ketua seksi acara yang mengantar ke hotel.

“Kalau di kamar tidak ada, Pak Revi. Adanya di ruang komunal”, jawab sang ketua sembari membantu Revi memasukkan kopernya ke bagasi mobil.

Rekan kerja Revi yang ditugaskan bersama, Varo, mendadak menyiku lengan Revi, “Buat apaan sik, Vi? Kita kan dapet makan.”

“Kerupuk”, balas Revi cepat.

“Yailah ribet amat lu pake bawa-bawa kerupuk mentah”, protes Varo sambil masuk ke dalam mobil.

“Awas ya minta”, goda Revi mengikuti Varo masuk mobil.

“Gue pikir cuma rumor soal lu dan kerupuk. Ternyata bener segitunya lu gak bisa idup tanpa kerupuk?”

“Iya.”

“Kenapa segitunya amat sik?”

“Yaa…kerupuk adalah bagian hidupku.”

“Sejak kapan lu segininya sama kerupuk?”

“Hmm..sejak kecil sepertinya. Setiap kali mengunjungi keluarga orang tua di Jakarta”, Revi terkekeh.

“Beneran?”

“Di Indonesia, kerupuk bahkan jadi bagian dari perayaan Hari Kemerdekaan. Tahu kenapa?”, suara Revi memperlihatkan keseriusan.

Varo mengerutkan dahi berpikir keras jawaban pertanyaan yang diajukan Revi meski ia sudah tahu bahwa jawabannya tidak ada di belahan otak manapun. Ekspresi ketidaktahuan Varo pun ditangkap oleh Revi. 

Revi bersiap menjelaskan, ia mengatur posisi tubuhnya seolah menjadi pembicara seminar,  “Jadi, waktu Indonesia dulu mendekati masa kemerdekaan, mereka mengalami krisis ekonomi parah yang mempersulit masyarakat menengah ke bawah untuk mendapatkan makanan yang layak. Akhirnya, lahirlah tradisi makan kerupuk yang harganya murah dan mudah didapatkan. Bisa dari berbagai jenis bahan makanan, mulai dari tepung singkong, remah-remah udang, bawang, sampai jengkol. Akhirnya, waktu mereka merdeka, tradisi makan kerupuk jadi perlombaan di Hari Kemerdekaan untuk mengingatkan rakyatnya menghargai masa-masa sulit itu. Menariknya, saat itu kerupuk jadi lambang kesetaraan dan solidaritas seluruh rakyat.”

Dengan wajah polos, Varo menyerap informasi yang baru saja ia tahu. Dalam hati, ia sebenarnya agak malu karena tidak pernah tahu sejarah kecil tentang asal-usul keluarganya di Indonesia. Tapi, di sisi lain, ia tertarik dengan pembahasan yang tak pernah diduga akan diulas bersama rekan kerja saat berada dalam situasi dinas.

“Terus, hubungannya sama kebiasaan lo makan kerupuk apa?”

Jawab Revi tanpa berpikir, “Material culture.”

“Budaya material? Apaan sih, duh lu kepinteran, ah Vi”, tanggap Varo kesal diikuti dengan tawa Revi. 

“Budaya kebendaan. Kalau orang lain mungkin pakai jam tangan Rolex yang memperlihatkan identitas sosial mereka, aku memilih kerupuk sebagai benda yang mendefinisikan identitasku. Dengan makan berbagai jenis kerupuk yang berbeda di setiap hidangan yang berbeda, aku sedang menjelaskan identitasku sebagai keturunan Indonesia yang memiliki begitu banyak keberagaman, terutama soal kuliner. Di saat yang sama, aku juga sedang mengingatkan diriku sendiri untuk tetap menjadi pribadi yang sederhana tapi penuh perjuangan. Selain itu, yaa..makan kerupuk bisa mengubah makanan yang rasanya biasa aja jadi lebih bisa dimakan. Bisa jadi penawar makanan yang kepedesan atau keasinan.”

Kuliah singkat yang diberikan Revi kepada Varo pun terpaksa terhenti saat mobil mereka sampai di hotel. Agenda mereka yang padat mengharuskan keduanya langsung fokus pada daftar kegiatan yang harus dilakukan sesaat kaki berpijak di depan hotel. Pembicaraan mereka pun langsung berubah haluan dan berpusat pada aktivitas dinas. 

***

Revi duduk terdiam menatap lekat-lekat ke arah microwave yang sedang memroses kerupuk putihnya. Di mejanya terdapat mi instan yang baru saja diseduh dan menunggu matang selama kurang lebih 4 menit seperti dalam instruksi. Waktu menunjukkan pukul 10.00 malam di Amsterdam. Revi masih memakai baju rapi, tidak seperti wajahnya yang terlihat amat kusut akibat kelelahan. Revi baru selesai bekerja 30 menit lalu. Di saat sedang lelah dan ingin tidur nyenyak, perutnya harus kenyang. Meski sudah makan malam, ia merasa perutnya masih ada bagian kosong yang perlu diisi, dan mi instan adalah makanan yang tepat untuknya.

Microwave yang sedari tadi ditatap oleh Revi pun berdenting, menandakan matangnya kerupuk yang sudah ditunggu-tunggu. Cepat-cepat diambil pirik kerupuk dari dalam microwave dan ditaruh di sebelah mangkuk mi instan. Revi membuka penutup mie instan perlahan yang mengeluarkan uap panas dan wangi yang bumbu yang khas. Wangi bumbu yang memenuhi ruang komunal itu pun menarik perhatian seorang turis berambut pirang.

Wow, it smells good”, sapa turis tersebut pada Revi sambil mengudap keripik kentang dalam kemasan berukuran jumbo. 

Yes, it’s typical Indonesian instant noodles”, balas Revi dengan logat Inggris-Amerika yang fasih.

Oh you are Indonesian? Great! I traveled to Bali several years ago, beautiful country”, kini turis itu duduk di hadapan Revi tanpa permisi, dan menunjukkan niat untuk mengobrol lebih banyak. “I’m Phillip, and you?

“Revi”, jawab Revi singkat berharap ia bisa menikmati camilan malamnya sendirian dengan tenang. Seharian ia sudah menjadi penerjemah banyak orang, berusaha untuk menerangkan pikiran dan maksud orang lain pada orang banyak. Ia butuh mulutnya tidak untuk bicara dan hanya untuk makan saat ini.

Nice to meet you, Revi”, sayangnya turis bermata biru itu tampak tidak dapat membaca gelagat Revi yang malas meladeni. “These white things are chips right? Indonesian chips.

Sambil menelan mi instan yang masih panas, Revi mengoreksi, “No. It’s kind of crackers. Kerupuk in Indonesian. Chips are called Keripik in Indonesian. Wellkerupuk and crackers are different, but the closest translation is crackers as they have similar processes and functions.”

Niat Revi yang hanya ingin membalas seadanya tiba-tiba pupus. Membahas soal kerupuk sama nikmatnya dengan makan kerupuk dengan mi instan yang sedang dikudapnya. Wajah kusut Revi pun mulai terlihat segar saat ia hendak menjelaskan perbedaan kerupuk dan keripik.

As you know, crackers and chips have different processes generally. Crackers made of dough and chips are from other food, case in point is in your hand: potato chips. Indonesian crackers, a.k.a, kerupuk are made of dough. The difference is that Western crackers can be biscuits while Indonesian crackers a.k.a kerupuk, cannot. I think most of Indonesian crackers are savory. Crackers and Kerupuk also have similar function in a meal: as complementary while chips, you can eat them alone”, jelas Revi sembari menyeruput jalinan mi terakhir di mangkuk yang masih tertinggal sedikit kuah.

Wow, you know a lot about this thing. Where do you find these crackers here?

I bought it from home.”

What, seriously? Why?

Why not? It’s like Americans bringing peanut butter spread when traveling, Canadians with maple syrup, or Australians with Vegemite.

I don’t get it. I’m a globetrotter, I love to try local food when I’m traveling. What’s the point of traveling to other countries if you don’t want to try their delicacies and just bring your food, no?”

I still enjoy local food. But, I don’t mind the hassle of bringing my own as it is my comfort food. Besides, Indonesians are people who easily get homesick”, Revi memberi jeda saat merespon dan mengangkat potongan kerupuk di atas meja sambil melanjutkan balasannya. “One of the reasons is because we love our rich, various, unique food. Bringing Kerupuk is somehow a pill to my homesickness.  A reminder that I’m Indonesian with all the uniqueness as the variety of its Kerupuk itself, and a reminder to not get too comfortable in other countries as I have my own to go back to.” 

Revi pun memasukkan potongan terakhir kerupuk ke dalam mulutnya, kemudian menenggak kuah mi instan dari mangkuk hingga tak bersisa. “And well, who knows the taste of strange food we never tried before. Believe it or not, Kerupuk can make it better.”

Philip yang sedari tadi menyudahi kudapannya tersenyum mendengar penjelasan panjang lebar Revi. Tatapannya pada Revi menunjukkan kekaguman. Ia pun terlihat tak lagi punya pertanyaan pada Revi dan melakukan ancang-ancang untuk beranjak dari kursi, “What a lovely night to hear short story about Indonesian crackers. Wish to have another chance visiting Indonesia, trying more variety of Indonesian crackers, uhmm.. Kye..ryu..pyuk, right?”

Melihat Phillip berdiri dari kursi, Revi pun ikut berdiri menunjukkan kesopanannya untuk berpamitan. “Yes, Kerupuk.

Sorry for interrupting your late dinner.

No worries. It’s my pleasure to introduce Kerupuk to new people. At least now there is one more person knows the existence of the word Kerupuk. Hope you will use this word instead of Indonesian crackers next time. Maybe, next time I’ll bring Kerupuk to your country and introduce it to your folks”, canda Revi sambil mengingat rasanya ia belum bertanya kewargenaraan Philip.  “Oh, I didn’t catch where you come from.”

“Liechtenstein”, sahut Philip yang sudah berjalan menjauhi meja Revi.

Mendengar jawaban Philip, Revi hanya bisa mengerutkan dahi dan enggan bertanya kedua kali. Ia tentu tidak mau menyinggung Philip karena belum pernah mendengar nama negaranya. Malam itu pun memberikan cerita pengantar tidur untuknya: mencari tahu tentang Liechtenstein di internet.

Add Your Heading Text Here